eramuslim.com – Fadi el-Abdallah seorang juru bicara Mahkamah Internasional (ICC) menyarankan Mongolia agar menahan Presiden Rusia Vladimir Putin kerena Mongolia adalah anggota ICC. Putin dijadwalkan kunjungan kerja ke Mongolia pada Senin, 2 September 2024, untuk memperingati 85 tahun pertempuran besar dalam Perang Dunia II.
Secara teoritis, kunjungan kerja Putin ke Mongolia menempatkannya dalam risiko ditahan karena ICC sudah menerbitkan surat penahanan pada Putin atas tuduhan kejahatan perang. Ulaanbaatar mengakui yurisdiksi ICC.
“Seluruh negara-negara yang menandatangani Statuta Roma punya kewajiban bekerja sama sesuai bab IX,” kata el-Abdallah, Jumat, 29 Agustus 2024.
Statuta Roma adalah sebuah pakta internasional yang menjadi dasar pembentukan ICC, di mana diratifikasi Mongolia pada 2002. Statuta Roma memberi pengecualian ketika upaya menahan seseorang dianggap melanggar pakta kewajiban dengan negara lain atau melanggar imunitas diplomatik seseorang atau properti negara ketiga.
Ukraina sudah mengajukan permohonan resmi ke Mongolia agar menahan Presiden Putin. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Jumat pagi, 29 Agustus 2024, mengatakan pihaknya tak punya keresahan soal surat penahanan dari ICC. Tidak ada hal yang mengkhawatirkan dari kunjungan kerja Putin karena segala permasalahan sudah diselesaikan secara terpisah.
ICC menerbitkan surat penahanan terhadap Putin pada Maret 2023 dengan tuduhan Putin tanpa dasar hukum mendeportasi anak-anak dan mengirim mereka dari area–area pendudukan Ukraina ke Federasi Rusia.
Moskow menolak tuduhan ICC tersebut dengan menyebutnya konyol dan menjalaskan bahwa evakuasi warga sipil dari zona-zona peperangan bukanlah sebuah kejahatan. Terlebih, baik Rusia maupun Ukraina bukan pihak dalam Statuta Roma yang artinya ICC tidak punya yurisdiksi dalam perang Ukraina ini.
Jika tidak ada aral melintang, Putin diharapkan menghadiri sebuah seremoni memperingati pertempuran Khalkhin Gol 1939. Pertempuran itu dimenangkan Tentara Merah dan sekutu-sekutunya Rusia melawan tentara kekaisaran Jepang dalam mempertahankan wilayah timur Uni Soviet hingga 1945.
(Sumber: Tempo)