Puasa di Hari Kelahiran diri Sendiri, Apa Hukumnya?

Dia menjelaskan, dapat kita jumpai dalam literatur ulama Salaf yang menganjurkan puasa mutlaq tanpa dalil secara khusus, yaitu puasa untuk sholat Istisqa seperti yang disampaikan Imam Ramli yang dijuluki Syafii Junior (Shaghir) ini:

( وَيَأْمُرُهُمْ الْإِمَامُ ) اسْتِحْبَابًا أَوْ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ ( بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ) ( أَوَّلًا ) مُتَتَابِعَةٍ مَعَ يَوْمِ الْخُرُوجِ ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ مُعِينٌ عَلَى الرِّيَاضَةِ وَالْخُشُوعِ وَصَحَّ { ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ ، وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَالْمَظْلُومُ } وَالتَّقْدِيرُ بِالثَّلَاثَةِ مَأْخُوذٌ مِنْ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا وَرَدَ فِي الْكَفَّارَةِ

Hendaknya sebelum melakukan shalat Istisqa’ (minta hujan), pemimpin atau yang berwenang lainnya memerintahkan mereka untuk puasa tiga hari terlebih dahulu secara terus menerus bersamaan hari akan dilaksanakannya shalat Istisqa. Sebab puasa dapat menolong pada riyadlah (olah batin) dan khusyuk. Disebutkan dalam hadis sahih: “Ada tiga yang dikabulkan doanya, orang puasa hingga berbuka, pemimpin adil dan orang yang dianiaya” [HR Tirmidz, Ibnu Majah dan lain lain]. Sementara tiga hari diambil dari tebusan sumpah, sebab puasa tiga hari adalah paling sedikit dari kafarat.” (Nihayat Al-Muhtaj 7/458)

Menurut Kiai Ma’ruf, di antara nikmat Allah SWT kepada kita adalah kita terlahir ke dunia ini pada hari tertentu. Maka sah-sah saja kita mensyukuri di hari tersebut dengan puasa secara Mutlaq (sunnah muthlaqah) seperti dalam hadis-hadis diatas, tidak dengan niat puasa weton. Sebagaimana disampaikan ahli hadits Ibnu Rajab Al-Hanbali berikut:

وَلَكِنِ الْأَيَّامُ الَّتِي يَحْدُثُ فِيْهَا حَوَادِثُ مِنْ نِعَمِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ لَوْ صَامَهَا بَعْضُ النَّاسِ شُكْرًا مِنْ غَيْرِ اتِّخَاذِهَا عِيْدًا كَانَ حَسَنًا اِسْتِدْلَالًا بِصِيَامِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُوْرَاءَ لَمَّا أَخْبَرَهُ الْيَهُوْدُ بِصِيَامِ مُوْسَى لَهُ شُكْرًا ، وَبِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ قَالَ : ” ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ “

… Akan tetapi hari-hari yang ada kejadian dari nikmat Allah kepada hambanya, jika dilakukan puasa oleh sebagian orang sebagai bentuk syukur tanpa menjadikan sebagai perayaan, maka bagus. Selaras dengan dalil ketika Nabi berpuasa di hari Asyura yang dikabarkan oleh Yahudi dengan puasanya Nabi Musa karena bentuk syukur. Dan dengan sabda Nabi saat ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan diberikan wahyu kepadaku” (Ibnu Rajab, Fath Al-Bari 1/88). (rol)