Adapun Yahudi, kebanyakan dari mereka, meski tahu kebenaran Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, alih-alih beriman, justru mereka menolak, naik pitam dan menyimpan dendam. Kedatangan Nabi Muhammad bagi mereka dinilai sebagai bencana yang bisa menggoyang singgahsana kepentingan mereka.
Pada faktanya, kehadiran nabi benar-benar menjadi perekat dan pemersatu. Kabilah Aus dan Khazraj melebur jadi satu entitas: Anshar. Sedangkan sahabat-sahabat yang berhijrah bersama nabi disebut: Muhajirin. Selain itu, ada pula identitas lain seperti ‘Ajami (non-Arab, seperti Salman Al-Farisi dan Bilal bin Rabbah) maupun Arab.
Di dalam Al-Qur`an pun ada penyebutan: Arabi dan ‘Ajami (QS. An-Nahl [16]: 103 dan Fushshilat [41]: 44). Bahkan, Yahudi dan Abdullah bin Ubay pun, pasca kemenangan gemilang nabi bersama sahabat pada perang Badar Kubra (2 H), terpaksa mengakui kekuatan Islam. Mereka diikat dalam perjanjian maha penting, yang diabadikan sejarah dengan istilah: Piagam Madinah, sebagai konstitusi pertama di dunia.
Adanya kaum Muhajirin-Anshar, Arab-’Ajami (non-Arab), penduduk asli-pendatang, justru bisa harmoni menjadi satu untuk bersama-sama menorehkan kebaikan dan manfaat sosial. Bahkan Yahudi pun (meski tak menerima Islam) selama tidak menyalahi janji- demikian pula gembong munafik (Abdullah bin Ubay) diikat dalam perjanjian luhur (Piagam Madinah) untuk bersama-sama menciptakan stabilitas dan manfaat, dan kemaslahatan sosial.
Akan tetapi, jika adanya suku, ras, golongan dijadikan alat untuk memecah belah, maka nabi secara tegas mengecam dan segera meredam.
Misalnya, saat Suku Aus dan Khazraj kembali berseteru -akibat adu domba orang Yahudi renta bernama Sya`s bin Qais-, Rasulullah pun dengan sigap dan cepat mendamaikan keduanya agar tak terpancing ajakan jahiliah (Muhammad al-Shallâbi, Sirah Nabawiyah, 2/10).