eramuslim.com – Presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan siapa yang akan menggantikannya selama masa transisi jika dirinya lengser dari jabatan dan posisi tersebut kosong.
Abbas, yang kini berusia 89 tahun, masih memimpin Palestina meskipun masa jabatan resminya sebagai Kepala Otoritas Palestina (PA) telah berakhir sejak 2009. Ia terus menolak tekanan untuk menunjuk seorang penerus atau wakil presiden.
Dalam sebuah dekret, Abbas menyatakan bahwa Ketua Dewan Nasional Palestina (PNC), Rawhi Fattuh, akan menjadi pengganti Abbas sementara jika posisi presiden kosong.
“Jika posisi presiden otoritas nasional menjadi kosong sementara dewan legislatif tidak ada, maka Ketua Dewan Nasional Palestina akan mengambil alih tugas tersebut… secara sementara,” bunyi dekret yang dirilis Abbas pada Rabu (27/11).
Dekret tersebut juga menambahkan bahwa setelah periode transisi, pemilu harus dilaksanakan dalam waktu 90 hari. Namun, tenggat waktu ini dapat diperpanjang jika terjadi “keadaan luar biasa.”
Menurut hukum Palestina, Ketua Dewan Legislatif Palestina (PLC) lah yang seharusnya akan mengambil alih Otoritas Palestina jika terjadi kekosongan kekuasaan presiden.
Namun, PLC–yang sebelumnya dikuasai oleh mayoritas Hamas–tidak lagi ada sejak Abbas secara resmi membubarkannya pada 2018. Pembubaran itu terjadi setelah lebih dari satu dekade ketegangan antara Fatah-Hamas, dua kelompok partai terbesar di Palestina.
Perseteruan Hamas-Fatah soal hasil pemilu 2006 meluas menjadi perang sipil hingga akhirnya Hamas menduduki dan menguasai Jalur Gaza pada 2007.
Sementara itu, dikutip AFP, PNC adalah parlemen Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang memiliki lebih dari 700 anggota dari wilayah Palestina dan diaspora.
Hamas, yang bukan bagian dari PLO, tidak memiliki perwakilan di PNC. Para anggota PNC tidak dipilih melalui pemilu, melainkan ditunjuk Abbas.
Lebih lanjut, dekret presiden terbaru ini merujuk pada “tahap yang genting dalam sejarah tanah air dan perjuangan Palestina” di tengah agresi brutal Israel di Gaza yang masih berlangsung sejak Oktober 2023 lalu.
Ketegangan antara Hamas dan Fatah juga terus berlanjut di tengah agresi brutal Israel selama setahun lebih ini.
Dekret presiden ini juga diumumkan pada hari yang sama dengan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan milisi Hizbullah di Lebanon.
Dekret ini juga diumumkan ketika posisi Otoritas Palestina saat ini semakin lemah dari sebelumnya. Pemerintah Palestina dilaporkan tidak mampu membayar pegawai negeri sipilnya di tengah agresi militer di Jalur Gaza dan kekerasan yang semakin sering terjadi di Tepi Barat.
Palestina juga terus menghadapi ancaman dari seruan menteri sayap kanan Israel yang menyerukan rencana untuk mencaplok seluruh atau sebagian wilayah Tepi Barat, ambisi yang semakin terlihat jelas dalam pemerintahan Benjamin Netanyahu.
(Sumber: Cnnindonesia)