Dimuat Dailymail, pria China yang tidak disebutkan namanya itu mengunjungi sebuah rumah sakit di Wuhan untuk menjalani tes SARS-CoV-2 atau nama lain dari virus corona baru pada 8 Februari 2020.
Pria tersebut mengungkapkan, ia mengalami demam selama sekitar satu pekan, namun tidak memiliki gejala infeksi lainnya seperti batuk.
Ketika diuji, tes Covid-19 yang dikumpulkan dari alat pengambil sampel tenggorokan menunjukkan hasil yang positif pada hari ke-17, 22, 26, 30, 34, 39, 43, dan 49.
Hasilnya pernah negatif pada hari ke-47, yang kemungkinan dianggap sebuah kebetulan.
Ini menunjukkan, “viral shedding” atau pelepasan virus terjadi selama 49 hari. Di mana viral shedding berarti seseorang yang terinfeksi mengeksresikan penyakit (keturunan virus) dalam napas mereka atau melalui tetesan bersin dan batuk.
Penelitian sebelumnya menunjukkan, pelepasan virus berlangsung selama rata-rata 20 hari. Kasus terpanjang yang ditemukan dilaporkan selama 37 hari.
Berdasarkan hipotesa dari Dr Li Tan dan rekannya, semakin lama pelepasan virus, maka kondisi inangnya bisa semakin parah.
“Menariknya, bertentangan dengan kesimpulan di atas, kami di sini melaporkan salah satu kasus yang tidak parah memiliki durasi paling lama pelepasan virus,” lanjutnya.
Kendat begitu, karena pasien tersebut tidak dapat melawan penyakit itu sendiri, maka ia mendapatkan perawatan plasma darah yang telah digunakan di China dan secara eksperimental di Amerika Serikat dan Inggris.
Pasien tersebut diberikan tranfusi plasma darah dari penderita Covid-19 yang telah pulih dan memiliki antibodi penangkal virus dalam darah mereka.
Pasien yang pada awalnya memiliki beberapa lesi yang terinfeksi ke paru-parunya yang menghilang tak lama setelah ia dibawa ke rumah sakit.
Para peneliti mengatakan kasus itu mungkin merupakan “kasus terinfeksi kronis”.
Sebelumnya, para peneliti China telah menemukan adanya kemungkinan dua jenis utama SARS-CoV-2, yaitu subtipe L dan subtipe S.
Subtipe L terdapat di sekitar 70 persen pasien dan lebih cenderung menyebar daripada subtipe S.
“Kami tidak dapat memastikan bahwa virus yang terkait dengan Kasus 1 adalah tipe S, tipe L yang bermutasi, atau subtipe baru,” ujar Dr Tan dan rekannya.
Kami tidak dapat mengecualikan subtipe baru asli yang tidak diidentifikasi,” ombuhnya.
Mereka pada akhirnya memperingatkan akan adanya pasien “kronis” lain yang mungkin memiliki gejala ringan seperti pasien di China tersebut. (Rmol)