Warga Palestina, Kuliah pun Dilarang oleh Israel

Israel tak henti-hentinya menindas rakyat Palestina. Bahkan untuk mendapatkan pendidikan, rakyat Palestina tidak diberi akses dengan melarang ratusan para pelajar asal Gaza yang ingin menuntut ilmu di Tepi Barat, wilayah Palestina yang masih dijajah Israel.

Para pelajar asal Gaza memilih sekolah di Tepi Barat karena sekolah-sekolah di Tepi Barat memiliki fasilitas pendidikan yang lebih baik. Ratusan pelajar asal Gaza itu hampir putus asa menghadapi pembatasan yang diberlakukan penjajah Israel.

"Kami merasa hampa," kata Huda Abu El-Ross yang sudah mendaftar di Universitas Bethlehem, Tepi Barat sejak tahun 2003. Namun selama itu pula ia tidak pernah menginjakkan kakinya di kampus karena Israel melarang gadis berusia 21 tahun itu untuk mengikuti kuliah di bidang occupational therapy-pengobatan dengan memberi pekerjaan tertentu-di universitas tersebut.

Akibat larangan tersebut, para mahasiswa yang sudah mendaftar di universitas di Tepi Barat hanya bisa mengikuti kuliah lewat video konferensi dari Universitas Al-Aqsa di Gaza.

"Militer Israel telah memindahkan semua orang. Tidak sulit bagi mereka memindahkan sepuluh mahasiswa dan mencegah mereka belajar di universitas masing-masing," tutur Abu El-Roos dengan nada frustasi.

Para mahasiswa tahun terakhir mengeluh kesulitan mengikuti kuliah occupational therapy melalui video konferensi dari Universitas Bethlehem, satu-satunya universitas di wilayah Palestina yang memiliki jurusan tersebut.

Menanggapi perihal larangan tersebut, juru bicara Kementerian Pertahanan Israel, Shlomo Dror mengatakan, pihaknya tidak menargetkan para mahasiswa Palestina, tapi warga Palestina memang tidak diperbolehkan melakukan perjalanan antara Gaza dan Tepi Barat.

"Kami tahu ada upaya-upaya untuk menyelundupkan bahan-bahan eksplosif dan infiltrasi ke Israel. Para mahasiswa bisa menimbulkan ancaman karena mereka lebih muda dan merasa tidak akan rugi apapun serta mudah dipengaruhi oleh organisasi-organisasi teroris," kata Dror beralasan.

Atas larangan kuliah itu, sepuluh mahasiswa occupational therapy dibantu oleh kelompok hak asasi manusia Israel, Gisha, mengajukan gugatan hukum ke pengadilan Israel.

Direktur Gisha, merangkap kuasa hukum mereka, Sari Bashi mengatakan, pihak pengadilan sudah menolak klaim yang menyebutkan bahwa para mahasiswa itu berpotensi menimbulkan "bahaya" dan meminta otoritas berwenang untuk menjelaskan mengapa para pemohon tidak dipertimbangkan berdasarkan kepentingan masing-masing orang.

Menurut para mahasiswa itu, militer Israel menolak sejumlah surat permohonan agar bisa masuk ke Tepi Barat melalui wilayah Israel. Begitu juga dengan permohonan izin masuk ke Tepi Barat dari Yordan, juga ditolak Israel.

Seorang mahasiswa, Muhammad Azaiza bercerita, ia bersama rekan-rekannya pernah sekali pergi ke Mesir untuk pelajaran praktek. "Persoalannya adalah, jika kami tidak bisa masuk ke Tepi Barat, kami harus balik lagi ke Mesir. Itupun tidak dijamin," tuturnya.

Profesi sebagai occupational therapist sangat dibutuhkan di Gaza. Mereka bekerja membantu memberikan ketrampilan bagi para penyandang cacat fisik agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Penindasan Israel selama bertahun-tahun di Gaza, menyebabkan banyak warga yang tewas dan menjadi cacat fisik, kehilangan tangan atau kakinya. Menurut Gisha, diperkirakan ada 24 ribu penyandang cacat di Gaza yang membutuhkan tenaga terapi.

Azaiza menambahkan, sejak meletusnya Intifada, pusat-pusat kesehatan dipenuhi oleh para penyandang cacat. "Kita perlu merehabilitasi orang-orang ini dan membuat mereka bisa menjalankan kehidupan secara normal," katanya.

Disisi lain, Abu El-Roos mengecam pelarangan kuliah bagi para mahasiswa Palestina di tanah airnya sendiri. "Beberapa mahasiswa bisa belajar ke luar negeri. Tapi mereka tidak bisa belajar di universitas di tanah airnya sendiri," kata El-Roos.

UNESCO juga menyebutkan, ratusan ribu anak-anak Palestina tidak bisa belajar di sekolah-sekolah reguler akibat serangan-serangan militer Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Anak-anak Palestina itu kini banyak yang bersekolah di rumah atau membuat ruang-ruang kelas di masjid-masjid, ruang bawah tanah dan gang-gang kecil. (ln/iol)