Sejak Israel menutup akses bagi warga Palestina untuk bekerja di wilayah Israel, banyak warga Palestina di Tepi Barat yang akhirnya bertahan hidup dengan jadi pemulung di tempat-tempat pembuangan sampah.
Kehidupan itulah yang kini harus dijalani keluarga Muhammad al-Ammour, 42, beserta dua orang anaknya. Sebelum menjadi pemulung, al-Ammour bekerja sebagai tukang cat di Israel dan bisa mendapatkan 35 sampai 50 dollar per hari. Tapi sekarang, sebagai pemulung ia dan hanya mendapat 12 dollar per hari, padahal ia harus menghidupi isteri dan delapan orang anaknya.
"Saya sedih mengatakannya, tapi hidup kami ada di sampah. Masa depan kami ada di sampah, " kata al-Ammour seperti dilansir surat kabar New York Times edisi Minggu (2/9).
"Jika kami tidak bekerja, kami tak bisa hidup. Tak satu pun pejabat dari pemerintah (Palestina) yang datang melihat keadaan kami, tak seorang pun yang betul-betul peduli. Padahal Palestina mendapatkan bantuan dari luar negri, tapi kami tidak pernah melihat bantuan itu untuk apa, " keluh al-Ammour yang biasa mengais sampah di sebuah tempat pembuangan sampah di desa Ad-Deirat.
Dibandingkan dengan al-Ammour, Rabah Rabai masih beruntung. Lelaki berusia 48 tahun itu bekerja menjadi sopir traktor pengangkut sampah. Ia pergi ke tempat kerja di tempat pembuangan sampah itu, setiap hari sebelum matahari terbit bersama tiga anak-anaknya. Sebelumnya Rabai bekerja di Israel sebagai tukang bangunan dengan pendapatan lebih dari 650 dollar per bulan.
"Ini taxi kami, ini jaguar kami, " kata Rabai tentang traktor tuanya.
Masih banyak lagi warga Palestina yang terpaksa bekerja di tempat pembuangan sampah demi bertahan hidup. Mereka ada yang harus menempuh jarak bermil-mil untuk sampai ke tempat pembuangan sampah itu, sehingga ada yang memilih untuk tinggal sementara di gubuk-gubuk atau tenda-tenda yang dibuat dari selimut, dan pulang ke rumah tiap akhir pekan. Tangan dan kaki mereka bahkan ada yang luka-luka karena terkena pecahan kaca atau benda tajam yang berada di antara sampah-sampah tersebut.
Para pemulung itu biasanya mencari kepingan-kepingan metal, kaleng-kaleng yang sudah penyok, botol-botol dan baju-baju bekas yang masih "layak" mereka jual kembali. Pendapatan mereka rata-rata lima dollar per hari.
"Kehidupan di sini sangat sulit, " kata Rabai, yang menolak disebut "bos" oleh para pemulung lainnya di tempat pembuangan sampah itu. (ln/iol)