Warga Palestina di Rafah: Kami Tak Tahu ke Mana Harus Pergi

eramuslim.com – Banyak warga Palestina di Rafah, Gaza selatan, mengaku kebingungan mau pergi ke mana untuk menyelamatkan diri dari serangan darat Israel.

Awalnya mengungsi dari Jabaliya, seorang pria mengatakan kepada BBC bahwa dia menerima pesan di telepon selular (ponsel) miliknya, memintanya untuk segera mengevakuasi Rafah.

“Kami tidak tahu ke mana harus pergi. Jumlah kami sekitar 80 orang,” katanya kepada program Gaza Lifeline di BBC Arab.

“Saya tidak punya uang untuk kembali ke Khan Younis. Beberapa tetangga mengatakan untuk datang dan menyewa tempat dengan harga sewa yang sangat murah. Tapi saya tidak punya uang bahkan untuk menyewa mobil,” lanjutnya.

Rencana Israel untuk memperluas serangan daratnya ke ujung selatan Jalur Gaza, tempat ratusan ribu warga Palestina mencari perlindungan dari pertempuran di tempat lain di wilayah tersebut, telah memicu kekhawatiran internasional.

Perintah evakuasi pada Sabtu (11/5/2024) ini dikeluarkan beberapa jam setelah laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan Israel mungkin telah menggunakan senjata yang dipasok Amerika yang melanggar hukum kemanusiaan internasional dalam beberapa kasus selama perang di Gaza.

Laporan tersebut menyatakan bahwa masuk akal untuk menilai bahwa senjata-senjata tersebut telah digunakan dengan cara yang “tidak konsisten dengan kewajiban Israel, namun AS juga menambahkan bahwa AS tidak memiliki informasi lengkap dalam penilaiannya dan bahwa pengiriman dapat dilanjutkan.

Badan-badan bantuan telah memperingatkan bahwa berlanjutnya operasi militer Israel di Gaza selatan berarti warga Palestina akan kehilangan tempat yang aman.

Khitam Al-Khatib, seorang warga Rafah yang kehilangan setidaknya 10 kerabatnya dalam serangan udara terhadap sebuah rumah keluarga pada Sabtu (11/5/2024) pagi, mengatakan kepada Reuters bahwa tidak ada tempat yang aman di Gaza.

“Mereka melemparkan brosur ke Rafah dan berkata, dari Rafah ke al-Zawayda aman, orang-orang harus mengungsi ke sana, dan mereka melakukannya, dan apa yang terjadi dengan mereka? Mayat-mayat yang terpotong-potong?,” ujarnya.

Badan amal Oxfam mengatakan bahwa daerah tersebut tidak memiliki rumah sakit yang berfungsi dan pasokan bantuan sangat terbatas.

Rumah sakit terbesar dari tiga rumah sakit yang berfungsi sebagian di Rafah, Abu Youssef al-Najjar, harus segera ditinggalkan keesokan harinya setelah staf menerima perintah evakuasi dan terjadi pertempuran di dekatnya.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina juga menyatakan keprihatinannya mengenai kondisi di kamp al-Mawasi di mana orang-orang diminta untuk pergi.

Sam Rose dari UNRWA mengatakan kepada BBC News bahwa daerah tersebut hampir tidak memiliki fasilitas untuk mengirim orang ke sana.

“Orang-orangnya tinggal di gubuk-gubuk, orang-orang yang tinggal di tenda-tenda di pinggir jalan pantai berpasir. Sangat sulit dalam hal memberikan pelayanan,” terangnya.

“Tidak ada jaringan air di sana. Tidak ada infrastruktur, saluran pembuangan limbah, sanitasi,” katanya.

Israel melancarkan kampanye militer di Gaza untuk menghancurkan Hamas sebagai tanggapan atas serangan kelompok tersebut di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan 252 lainnya disandera, menurut pihak berwenang Israel.

Lebih dari 34.900 orang telah terbunuh di Gaza sejak itu, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas di wilayah tersebut.

 

(Sumber: Okezone)

Beri Komentar