Warga Kristen Palestina di Jalur Gaza membuat pernyataan yang cukup mengejutkan media massa Barat, yang selama ini mengklaim bahwa naiknya Hamas ke tampuk pemerintahan akan mengancam hak-hak keagamaan warga Kristen. Apa yang diungkapkan warga Kristen di Jalur Gaza ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang diberitakan media massa Barat.
"Saya tidak takut dengan Hamas, bahkan dengan agama Islam," kata Anton Shuhaiber, anggota dewan gereja dan anggota pengurus lokal asosiasi generasi muda Kristen, seperti dikutip AFP.
Sejak Hamas memenangkan pemilu legislatif, muncul kekhawatiran di kalangan warga Muslim bahwa pemerintahan Hamas akan berupaya menerapkan hukum syariah baik bagi Muslim dan non Muslim. Beberapa di antaranya bahkan khawatir pemerintahan Palestina akan memaksa kaum wanita di Palestina untuk mengenakan jilbab dan akan menerapkan hukuman yang sangat keras bagi tindak kriminal biasa.
Namun mayoritas penganut Kristen di Gaza yang merupakan wilayah basis Hamas mengatakan, kekhawatiran itu sama sekali tidak berdasar. "Bagi umat Kristiani yang membaca Al-Quran dengan hati-hati dan yang berwawasan luas, ketakutan itu tidak ada," sambung Shubaiber, 68, seorang dokter yang pernah belajar di Inggris.
Shubaiber bahkan menganggap pemimpin-pemimpin Hamas, Syeikh Ahmed Yassin dan Abdulaziz Rantissi, keduanya dibunuh oleh Israel, sebagai sahabatnya. Ia menunjuk sofanya yang kerap mereka gunakan untuk duduk bersama.
"Kami tidak takut dengan apapun, karena Muslim dan Kristiani ada di sini, sejak jaman Islam masuk, dan hidup dalam perdamaian dan cinta," kata Artemios. Ia mencontohkan aksi unjuk rasa menentang kartun Nabi Muhammad kemarin, Pastur Dimitriades dari gereja ortodok Saint Perfilios turun menemui ratusan pengujuk rasa warga Palestina yang beberapa di antaranya adalah umat Kristiani.
Para pemuka agama Kristem mengaku tidak takut gerejanya akan dilempari batu atau dibakar saat aksi unjuk rasa itu, karena umat Kristen Palestina juga merasa terluka seperti saudara-saudara mereka yang Muslim atas publikasi kartun tersebut.
Dalam aksi unjuk rasa kemarin, salah seorang warga Muslim membawa salinan Al-Uhdah Al-Omariyah (Kesepakatan Umar) yang ditandatangani pada tahun 683 oleh khalifah Umar bin Khattab. Dalam dokumen bersejarah itu, Omar menjanjikan pada Sophronios, keuskupan di Al-Quds (Yerusalem), akan melindungi kehidupan, properti dan gereja-gereka Kristen. Kesepakatan itu juga menjamin bahwa umat Kristiani ‘tidak akan dipaksa dalam masalah keagamaan.’
Umat Islam maupun Kristen di Palestina menganggap dokumen itu masih berlaku, meski usianya sudah lebih dari 13 abad. Dan hal ini terlihat pada hukum dasar dan konstitusi yang saat ini berlaku di Palestina, yang menyatakan bahwa ‘kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah agama dijamin, kecuali bila melanggar moralitas dan ketentraman publik.’
Anggota Parlemen yang menganut agama Kristen, Hosam al-Taweel juga salah seorang yang menolak anggapan bahwa Hamas akan menerapkan hukum syariah begitu membentuk pemerintahan di Palestina. "Hamas tahu masyarakat Palestina terdiri dari berbagai bentuk, ide dan warna politik, dan Hamas juga tahu jika mereka melakukan pemaksaan, seluruh lapisan masyarakat akan menentang keyakinan dan kebijakan mereka, dan itu akan merugikannya dalam waktu yang lama," kata Taweel.
Taweel adalah salah seorang perwakilan Kristen yang terpilih di parlemen bersama lima perwakilan Kristen lainnya. Taweel adalah perwakilan Kristen yang mendapat dukungan dari Hamas dan kelompok-kelompok nasionalis lainnya.
"Sebagai umat Kristen, kami memiliki problem yang sama, penderitaan yang sama atas pendudukan Israel, tingginya tingkat pengangguran, situasi ekonomi yang buruk. Tapi kami hidup dalam masyarakat yang bersatu, tidak ada perbedaan atau bentuk diskriminasi apapun oleh warga Muslim," papar Taweel. (ln/iol)