Kelompok ultra nasionalis Yahudi dengan dukungan para donor dan perintah pengadilan, melakukan pengusiran terhadap warga asli Palestina dari tanah kelahiran mereka di Al-Quds (Yerusalem Timur) dengan cara paksa.
"Mereka mendatangi kami pada Selasa pagi dan mengatakan kami punya waktu 30 menit untuk keluar. Sekitar 80 orang mengemasi barang-barang mereka. Mereka mengusir kami, menutup pintu-pintu dan mengganti kunci-kuncinya," kata Riyad Ghozlan pada AFP, Selasa (4/4).
Atas pengusiran itu, Ghozlan diberi uang sebesar 245.000 dollar sebagai uang pengembalian atas sewa dari orang Yahudi yang mengklaim sebagai pemilik asli rumah tempat Ghozlan tinggal seraya memperlihatkan surat perintah pengadilan untuk meninggalkan tempat itu. Padahal keluarga Ghozlan, bahkan nama mereka dalam bahasa Arab masih tertera di depan pintu rumah, sudah menempati rumah tersebut selama 40 tahun. Dan keluarga Ghozlan pernah diberikan sertifikat khusus oleh Israel karena telah menyelamatkan sejumlah orang Yahudi ketika terjadi kerusuhan pada tahun 1929.
Rumah yang dibangun oleh kakek Ghozlan pada 1966 itu kini dijaga oleh aparat keamanan-yang lebih senang menyebut Silwan sebagai "Kota David"-dan melarang penghuninya masuk.
Menurut AFP, pengusiran atas warga asli Palestina di Silwan itu dimotori oleh Elad, kelompok ultra nasionalis Yahudi yang bergerak di bidang advokasi yudaisasi di Al-Quds. Elad juga satu dari dua organisasi non profit Yahudi yang melakukan gerakan menempatkan warga Yahudi di rumah-rumah milik warga Palestina secara paksa di Al-Quds dan mengakui bahwa organisasi mereka bertujuan untuk menciptakan ‘situasi yang tidak bisa diubah’ di kota suci itu.
Ketika dikontak AFP, juru bicara Elad mengatakan bahwa pihaknya tidak akan memberikan keterangan detil apapun tentang tindakan mereka di Silwan. Namun pada surat kabar Israel Haaretz edisi Senin (3/4), anggota pengurus Elad Adi Mintz mengatakan, "Tujuan kami adalah untuk mempertahankan pos-pos terdepan di Yerusalem Timur dan menciptakan situasi yang tidak bisa diubah lagi di wilayah suci di sekitar kota Tua."
Keluarga Palestina lainnya yang menjadi korban pengusiran Elad adalah keluarga Abu Al-Hawa dan keluarga Kiswani. Kedua keluarga itu tinggal di kota A-Tur, salah satu wilayah terbesar di Al-Quds yang menghadap ke masjid Al-Aqsa.
Menurut Muhammad Abu Al-Hawa, beberapa orang muncul di depan rumahnya minggu lalu dan menawarkan uang sebesar 300.000 dollar untuk menyewa apartemen. Abu Al-Hawa menolak tawaran itu, namun orang-orang tersebut kemudian memperlihatkan sebuah surat yang menyatakan bahwa dua gedung sudah dijual, termasuk apartemen tempat Al-Hawa tinggal. Menurutnya, tanda tangan ibunya di surat itu sudah dipalsukan.
Pada bulan Maret tahun 2005 lalu, surat kabar Israel Maariv melaporkan bahwa para investor asing Yahudi sudah membayarkan jutaan dollar untuk membeli dua bangunan besar di Jaffa Gate, pintu masuk utama ke Kota Tua, Al-Quds. Jual beli itu dilakukan secara diam-diam dengan pihak gereja Yunani Ortodoks.
Dukungan Pemerintah
Pengusiran terhadap warga Palestina di Al-Quds oleh kelompok ultra nasionalis Yahudi, tidak lepas dari peran pemerintah Israel yang mendukung pengusiran tersebut. Elan Frenkel dari kelompok Arab Yahudi Taayush pada AFP mengatakan, pemerintah Israel terlibat dalam rencana ‘pengusiran warga Palestina dari Yerusalem agar Israel sehingga Israel dapat menganeksasi properti mereka tanpa keberadaan warga Palestina.’
Andi Mintz memperkuat pernyataan itu. Ia mengatakan, pejabat Perdana Menteri Ehud Olmert ‘selalu menjadi pendukung organisasi non profit Yahudi di Yerusalem Timur.’
Anggota parlemen baru dari Partai Kadima, Othniel Schneller menyatakan, Kota Tua dan ‘lembah suci’-termasuk didalamnya Mount of Olives dan Silwan-akan tetap menjadi milik Israel berdasarkan kesepakatan damai yang permanen. Sedangkan wilayah-wilayah tetangga dan pinggiran seperti Shoafat, Anata dan Abu Dis akan tetap menjadi wilayah otoritas Palestina.
Pengusiran warga Palestina dari tanah air mereka di Al-Quds oleh Israel, merupakan bagian dari rencana besar yang pernah diungkapkan oleh PM Israel Ariel Sharon yang kini masih berbaring sakit. Sharon berencana untuk menghubungkan Al-Quds dengan pemukiman Yahudi yang besar Ma’ale Adumim di Tepi Barat dengan membangun ribuan rumah bagi warga Yahudi.
Pada bulan Juli, kabinet Sharon menyetujui revisi pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat yang menyebabkan hampir seperempat warga Palestina di Al-Quds terisolasi dari kota-kota di sekitarnya.
Palestina menginginkan wilayah Al-Quds yang utuh sebagai ibukota negaranya di masa depan. Wilayah itu dicaplok dan diduduki oleh Israel pada 1967 dan saat ini ada sekitar 230.000 warga Palestina yang tinggal di kota suci ketiga bagi umat Islam tersebut.
Pada kenyataannya, tidak semua warga Yahudi mendukung pengambilalihan dan penyitaan rumah-rumah milik warga Palestina. Warga Yahudi juga ada yang ikut melakukan aksi protes bersama warga Palestina atas tindakan akusisi itu.
"Saya di sini untuk memprotes penyitaan yang dilakukan secara ilegal dan dilakukan atas nama saya," kata Josh Friedman, seorang Yahudi Amerika.
"Saya pikir tidak benar memberikan hak istimewa terhadap satu etnis tertentu terhadap etnis lainnya. Secara moral itu tidak bisa dibenarkan dan ini terjadi di semua tempat, di Yerusalem Timur dan Tepi Barat," sambungnya.
Rabbi Arik Ascherman dari organisasi perdamaian Rabbi for Human Rights juga mengecam ketidakadilan yang dilakukan terhadap keluarga Ghozlan. "Kami seringkali menentang fakta bahwa ada sejumlah orang yang memberikan pertolongan pada orang-orang Yahudi selama penindasan yang terjadi bertahun-tahun dan sekarang kami di sini punya satu keluarga yang menyelamatkan orang-orang Yahudi dari pembantaian tahun 1929," kata Rabbi Ascherman.
"Saya yakin keluarga ini dengan senang hati mengembalikan sertifikat penghargaan itu asalkan rumah mereka kembali. Beginikah kita memperlakukan orang yang telah menolong kita?" sambungnya. (ln/iol)