Apabila krisis di Palestina terus berlangsung maka sebuah bencana kemanusiaan benar-benar tidak bisa terelakkan. Riset yang dilakukan The Palestinian Centre for Human Rights (PCHR) menegaskan angka kemiskinan di wilayah-wilayah Palestina mencapai 74% jika embargo ekonomi ini terus berlangsung. PBB memperkirakan tiga dari empat warga Palestina akan terpaksa hidup hanya dengan 1 dolar atau kurang untuk memenuhi hidup setiap hari mereka, separuhnya (dua dari empat) warga akan menjadi pengangguran.
Kondisi semakin parah setelah satu-satunya perusahaan Israel yang mensuplai BBM ke Palestina menghentikan pasokannya sejak minggu ini. Israel juga memutus pasokan listerik ke wilayah Tepi Barat. Rakyat Palestina kini terpaksa harus mencari cara baru dan tradisional untuk sekadar menyambung nyawa dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa listerik. Bahkan kebanyakan mereka sulit mendapatkan sepotong roti dan seteguk susu untuk anak, karena pabrik-pabrik roti, perusahaan-perusahaan dan sarana tranportasi sebagian telah menghentikan aktivitasnya secara total.
Embargo segitiga yang diterapkan Amerika – Israel – Eropa ini memaksa warga Palestina harus kembali mencari cara-cara tradisional dengan menggunakan lampu minyak untuk penerangan dan kayu untuk membakar roti atau mamasak. Namun cara seperti ini juga tidak selalu berhasil. Sebagaimana diungkapkan seorang petani Palestina di Nablus. Khiyar, begitu namanya, ia tidak mendapatkann alternatif lain untuk menyirami lahan yang mau dipanen sebab tidak ada solar untuk menghidupkan mesin pompa air beberapa hari ini.
Shabah Hamd (46), seorang ibu rumah tangga di Jenin ini membuat roti dengan kayu bakar untuk makan lima orang anaknya. “Semoga Allah membunuh kemiskinan, membunuh politik. Lihatlah roti yang saya baker ini, bercampur dengan air mataku. Saya memberikannya untuk anak-anak saya dengan campuran garam dan minyak agar mereka diam,” ungkapnya kepada Islamonline.
Shabah Hamd mengatakan, “Tidak ada listik kecuali hanya 3-4 jam hanya di waktu malam saja. Kami tidak bisa mencuci pakaian, anak-anak saya mandi hanya sekali dalam seminggu.”
Hadi Nayef (54), seorang guru di sekolah SMU bertanya-tanya kenapa orang selain Palestina merasakan kesejahteraan dan kemelimpahan sementara orang Palestina tidak bisa hanya sekadar menerangi anak-anaknya agar bisa belajar.
Laila Hirzullah (36), seorang guru komputer, mengeluh karena hanya listerik hanya menyala selama tiga jam dan itupun di waktu malam hari saja. Akibatnya tugasnya sebagai guru hampir mandeg total.
Keluhan yang sama juga dirasakan para pekerja medis. Rabihah Muhammad yang bekerja sebagai perawat mengatakan, “Sulit dipercaya kami harus bekerja di bidang kesehatan tanpa listerik atau tanpa obat. Kami tidak bisa banyak membantu pasien sebab alat-alat tidak bekerja sementara para pasien tidak berhenti dari sakitnya.”
Embargo Amerika – Israel – Eropa ini telah berpengaruh pada semakin langkanya obat-obatan. Hal ini berdampak langsung kepada kondisi pasien terutama yang membutuhkan obat setiap hari. (was/iol)