Survei terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen warga Palestina di kota Hebron, Tepi Barat-kota yang berada di bawah kontrol Israel-terpaksa meninggalkan rumahnya dan 75 persen toko-toko warga Palestina, terpaksa tutup.
Menurut B’Tselem dan Association for Civil Right-organisasi yang melakukan survei tersebut- penyebab kondisi itu adalah kebijakan Israel yang melakukan pemisahan antara masyarakat Yahudi dan Arab serta kebijakan-kebijakan lainnya yang telah membuat warga Palestina menderita.
Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa sekitar 1. 014 rumah warga Palestina atau sekitar 41, 9 persen dari total jumlah unit rumah di kota itu, kini tidak berpenghuni. Dari jumlah itu, sekitar 65 persen di antaranya sudah ditinggalkan penghuninya sejak pecah gerakan intifadah tahun 2000.
Juru bicara B’Tselem Sarit Michaeli mengungkapkan, warga Palestina terpaksa pindah karena militer Israel memberlakukan aturan yang membatasi gerak dan kehidupan mereka. Ia mencontohkan kebijakan pemisahan warga berdasarkan latar belakang etnis, telah membuat wilayah Hebron Tengah menjadi seperti "kota hantu" yang tak berpenghuni.
"Mereka menciptakan kondisi yang membuat warga Palestina terpaksa pindah. Militer Israel tidak bisa bicara sekarang bahwa mereka tidak tahu semua ini akan terjadi, " ujar Michaeli.
Menanggapi laporan B’Tselem, militer Israel menyatakan bahwa organsasi itu tidak memahami kompleksitas kota Hebron, satu-satunya kota di Tepi Barat di mana warga Palestina dan warga Israel hidup berdampingan. Di kota ini pula kerap terjadi pembunuhan, penembakan dan serangan bom para pejuang Palestina terhadap militer Israel yang kehadirannya dilindungi oleh pemerintah Zionis.
Militer Israel beralasan bahwa pembatasan-pembatasan yang diberlakukan terhadap warga Palestina bertujuan untuk menjaga ketertiban dan melindungi kehidupan warga Israel dan warga Palestina sendiri.
Laporan B’Tselem juga menyebutkan bahwa sekitar 1. 829 toko milik warga Palestina yang meliputi 76, 6 persen geliat bisnis di kota Hebron, kini tidak lagi beroperasi. Dari jumlah itu, 62, 4 persen di antaranya sudah tutup sejak pecah gerakan intifadah.
Warga kota Hebron, Azzam al-Shiyoukhi, 49, mengatakan bahwa tentara dan para pemukim Israel membuatnya tidak mengunjungi tokonya lagi. "Untuk ke toko dan membukanya kembali saja susah, toko-toko itu berada di area tertutup. Satu-satunya yang bisa memasuki wilayah itu adalah mereka yang tercatat sebagai pemukim atau warga kawasan tersebut, " tutur Azzam.
Selain menghadapi berbagai pembatasan oleh militer Israel, warga Palestina yang berada di Hebron tengah juga sering menjadi sasaran pelecehan warga Yahudi yang juga tinggal di kota itu. Warga Yahudi di kota ini terkenal ekstrim dan sering memicu keributan dengan warga Palestina.
Dalam pernyataannya, juru bicara pemukim Yahudi di Hebron Tengah menuding laporan B’Tselem mengandung kebohongan, distorsi dan data-datanya tidak akurat.
Namun Mufeed al-Sharabati, salah seorang warga Palestina di Hebron mengungkapkan, dia terpaksa meninggalkan rumahnya pada tahun 2002 karena tidak tahan dengan kekerasan yang dilakukan pemukim Yahudi.
"Belasan orang pemukim Yahudi menyerang rumah saya dan membakar semuanya yang ada di dalam rumah. Kami memanggil polisi dan tentara Israel, tapi tak seorang pun yang membantu kami, " sambungnya.
Malah, setelah aksi penyerangan itu, tentara Israel mengeluarkan perintah agar ia mengosongkan rumahnya dan ia menerima banyak penawaran dari pemukim Yahudi yang ingin membeli rumahnya. (ln/guardian)