Rejim Zionis Israel harus membayar mahal biaya untuk melanggengkan penjajahannya di bumi Palestina, mulai dari rusaknya perekonomian, kehidupan sosial, politik dan posisinya di mata dunia internasional. Demikian kesimpulan lembaga think-tank Israel, Avda Center for Equality and Social Justice.
Dalam laporannya berjudul "The Cost of Occupation" lembaga ini menyatakan, konflik Israel dengan Palestina kenyataannya menjadi beban yang sangat berat yang menggantung di leher Israel. Laporan itu menyebutkan, "Konflik telah mengganggu pertumbuhan ekonomi, membebani anggaran, membatasi perkembangan sosial, membahayakan posisi Israel di dunia internasional, membuat lelah para tentara dan mengancam eksistensi Israel dimasa depan."
Fakta ini, tulis Avda sangat bertentangan dengan klaim pemerintah Israel bahwa perekonomiannya saat ini tumbuh pesat. Avda menyodorkan fakta bahwa dalam sepuluh tahun terakhir perekonomian Israel hanya tumbuh 43 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 67 persen, pertumbuhan ekonomi AS 68 persen, negara-negara Eropa Barat 68 persen, India 139 persen, negara-negara Eropa Timur 167 persen, negara-negara Teluk 174 persen dan China 193 persen.
Menurut Avda, selama dua dekade ini, biaya penjajahan yang dikeluarkan rejim Zionis Israel mencapai 36, 6 milyar shekel dan banyak anggaran negara yang dipotong dengan besaran yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan yang makin membengkak.
"Yang paling menghabiskan dana adalah pembangunan dinding pemisah yang dipekirakan mencapai 13 milyar lebih, " tulis Avda.
Israel membangun dinding pemisah di wilayah pendudukannya di Tepi Barat sepanjang 700 kilometer, dengan alasan untuk mencegah masuknya para pelaku serangan bom bunuh diri dari wilayah Palestina ke Israel. Dinding pemisah itu dilengkapi dengan berbagai alat pengamanan, seperti aliran listrik dan kamera pemantau. Israel tidak menggubris perintah Dewan Umum PBB agar meruntuhkan dinding tersebut. Sementara Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa pembangunan dinding pemisah itu ilegal.
Avda dalam laporannya juga mengatakan kehancuran ekonomi dan ketidakseimbangan sosial yang dialami Israel meningkat secara dramatis. Sekarang, satu dari lima keluarga Palestina adalah keluarga miskin dibandingkan di era tahun 1970-an di mana perbandingannya satu banding 10. Hal ini disebabkan karena Israel memotong anggaran untuk keamanan sosial, anggaran untuk anak-anak dan kompensasi untuk para pengangguran sepanjang tahun 2001-2005.
Dalam tatanan dunia internasional, penjajahan Israel di tanah Palestina menurut Avda juga telah melemahkan posisi Israel dan memicu keraguan atas legalitas tindakan Israel. "Penjajahan berkepanjangan di wilayah Palestina telah menempatkan Israel dalam situasi konfrontasi dan friksi dengan berbagai pihak di kalangan masyarakat internasional, " tulis Avda.
Intinya, Israel harus membayar mahal penjajahannya atas Palestina. Akibatnya, Israel gagal membangun institusi-institusi yang stabil serta gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya sehingga harus bergantung pada bantuan negara lain.
Avda mengingatkan, jika tidak memberikan solusi yang adil atas masalah Palestina, Israel akan terus mengeluarkan banyak uang untuk membiayai penjajahannya. "Tanpa solusi politik yang memberikan penghormatan, kemerdekaan dan kesempatan bagi perkembangan ekonomi Palestina, Israel akan terus mengeluarkan uang banyak untuk harga yang dibayarnya, " tukas Avada. (ln/iol)