Di tengah pertikaian antara pendukung Hamas dan Fatah di Palestina, sebuah harian Israel menurunkan laporan tentang strategi-strategi yang dilakukan pemerintahan George W. Bush di AS untuk melemahkan Hamas dan lebih memberdayakan Presiden Mahmud Abbas.
Surat kabar Haaretz menyebut strategi-strategi itu sebagai alat ‘kreatif’ Bush. Sumber seorang diplomat Israel pada harian itu mengatakan bahwa Washington sedang mencari cara untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan kredit pada Abbas.
Dalam kunjungan ke Israel minggu ini, Menlu AS Condoleezza Rice akan membahas langkah-langkah itu, termasuk langkah untuk memperkuat kepemimpinan Abbas dan pasukan keamanan yang setia pada Abbas.
Di antara strategi-strategi baru itu, salah satunya adalah mengemukakan kembali rencana yang diusulkan oleh jenderal AS, Jenderal Keith Dayton agar pasukan Presiden Abbas melakukan operasi di perbatasan-perbatasan Israel dan Jalur Gaza dengan melibatkan para pemantau asing.
Rice rencananya akan tiba di Israel hari Kamis (5/10). Tujuan kedatangannya ke Israel antara lain untuk membicarakan kembali kesepakatan yang dimediasinya akhir tahun 2005 kemarin, tentang pemberian fasilitas bagi pergerakan warga Palestina antara Gaza dan Tepi Barat.
Sementara itu, sejumlah faksi di Palestina menyerukan agar para pendukung Fatah dan Hamas menghentikan pertikaian yang hanya akan menguntungkan Israel.
Salah satu faksi Front Popular Pembebasan Palestina, menganjurkan agar Fatah dan Hamas segera melakukan pembicaraan secara terbuka. "Gerakan Fatah dan Hamas harus segera menghentikan pertikaiannya di Gaza," kata perwakilan Front di Damaskus, Maher Taher.
"Dialog adalah cara untuk mencari jalan keluar pertikaian internal, bukan dengan menggunakan kekerasan yang ditentang semua rakyat Palestina," tambahnya.
Sebelumnya, Fatah dan Hamas sudah melakukan serangkaian pembicaraan yang berujung pada rencana membentuk formasi baru pemerintahan yang bersatu, yang lebih bisa diterima oleh negara-negara donor. Namun rencana itu menemui jalan buntu karena kedua faksi masih beda pendapat soal pengakuan terhadap eksistensi Israel. (ln/iol)