Wartawan sekaligus fotografer asal Afrika Selatan, Yazeed Kamaldien menyaksikan sendiri pemandangan yang memilukan di Jalur Gaza setelah digempur dari laut, udara dan darat oleh pasukan Zionis Israel selama 22 hari.
Ia masuk ke Jalur Gaza dan menghabiskan satu pekan disana setelah militer Israel menarik pasukannya dari wilayah itu. Lewat lensa kamera dan mata kepala sendiri, Kamaldien menjadi saksi sebuah bencana yang diakibatkan oleh perang biadab Israel.
Di Rumah Sakit Al-Shifa, Kamaldien melihat Iman Kadoum dan ibunya yang sedang antri bersama ribuan pasien lainnya, menunggu giliran untuk mendapatkan pengobatan. Saat itu, jumlah pasien di Rumah Sakit Al-Shifa, rumah sakit terbesar di Jalur Gaza sudah mencapai lebih dari 5.000 orang. Mereka adalah para korban agresi brutal Israel ke Gaza.
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu, mengalami pendarahan di bagian livernya. Menurut ibunya, Najlaa Kadoum, sebenarnya puterinya mendapatkan bantuan pengobatan ke Prancis. Petugas kesehatan sudah mengurus surat jalan mereka dan akan membiayai pengobatan Iman yang harus menjalankan operasi. Tapi ketika iman dan ibunya tiba di perbatasan Mesir untuk pergi ke Prancis, petugas perbatasan Mesir tidak mengizinkan mereka keluar dari Gaza.
"Dengan kasar, petugas perbatasan Mesir menuding kami berbohong. Mereka menyuruh kami kembali pulang. Saya berharap bisa mendapatkan rumah sakit yang layak. Anak saya berhak mendapatkan pertolongan," tukas Najlaa Kadoum.
Selain Iman, ada anak perempuan lainnya bernama Amira Elqarem berusia 15 tahun. Dari tempat tidurnya, dengan wajah letih Amira menceritakan bagaimana ia berusaha bertahan hidup selama tiga hari tanpa bantuan medis, setelah sebuah misil Zionis Israel menghantam rumahnya.
Ayah, saudara perempuan dan saudara laki-laki Amira gugur syahid dalam serangan itu. Amira mengungkapkan, ia melihat tank-tank Israel masuk ke Gaza, ketika ia berusaha menghentikan pendarahan di kaki kirinya dengan daun pohon palem. Dia merangkak ke sebuah rumah untuk berlindung. Penghuni rumah itu ternyata seorang wartawan yang lalu membawanya ke rumah sakit.
Luka yang dialami Amira cukup parah dan membutuhkan perawatan medis yang intensif. Sama seperti Iman, Amira seharusnya mendapatkan pengobatan di sebuah rumah sakit di Prancis. Tapi otoritas pemerintah Mesir di perbatasan juga melarangnya ke luar dari Gaza.
Deputi asisten menteri kesehatan di Gaza, Hassan Khalaf mengungkapkan warga Gaza mengalami bencana kemanusiaan dan kesehatan akibat agresi brutal Zionis Israel. Situasi itu makin buruk karena Mesir yang mengelola perbatasan Rafah tidak mengijinkan pasien yang menderita luka berat ke luar Gaza untuk mendapatkan pengobatan. Sementara Israel memutus pasokan bahan bakar sehingga pembangkit listrik di Gaza tidak bisa beroperasi.
"Jika aliran listrik terputus, sedikitnya akan ada 150 pasien akan meninggal dalam jangka waktu setengah jam. Kadang, pada saat tengah malam kami harus memindahkan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, yang masih memiliki aliran listrik," kata Khalaf.
Ia melanjutkan,"Kami sangat sedih, tidak bisa berbuat banyak untuk membantu para pasien karena kami tidak punya obat-obatan dan peralatan yang memadai. Perbatasan-perbatasan ditutup, sehingga pasien tidak bisa ke rumah sakit dimana mereka bisa mendapatkan perawatan yang layak."
Menurut Khalaf, lembaga-lembaga bantuan yang membawa bantuan medis tidak semuanya bisa mencapai Gaza, beberapa bantuan medis tertahan di perbatasan-perbatasan dengan Israel.
Untuk menampung bantuan tersebut, kementerian kesehatan di Gaza membangun tujuh gudang. Dari sinilah bantuan-bantuan akan didistribusikan ke rumah-rumah sakit.
Lembaga bantuan ‘Gift of the Giver’ dari Afrika Selatan, salah satu organisasi yang berangkat ke Gaza untuk menyampaikan 85 ton bantuan kemanusiaan. Ikut dalam rombongan itu tim medis berjumlah 25 orang yang membantu kerja petugas medis Palestina. Yusuf Nanabhay, dokter di Rumah Sakit Milpark, Parktown, Johannesburg yang ikut dalam rombongan dari Afrika Selatan mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi rumah sakit dan layangan kesehatan di Gaza.
"Pasien tidak punya privasi. Tempat-tempat tidur tidak ada kasurnya, tidak ada sprei atau bantal. Peralatan rumah sakitnya sudah sangat tua … banyak staff lokal yang trauma oleh agresi brutal Israel kemarin. Tapi mereka harus terus bekerja, meski merasa stress," ungkap dokter Yusuf.
Psikoterapis asal Durban Reyhana Seedat juga prihatin melihat kondisi staff medis yang mengalami trauma dan bekerja dalam situasi yang penuh tekanan. "Mereka membutuhkan bantuan sebelum mereka membantu para pasien," ujarnya.
Suatu ketika, ketika Reyhana sedang memimpin metode kelompok untuk para staff rumah sakit, tiba-tiba ada orang yang datang dan mengatakan bahwa mereka harus melakukan evakuasi karena Israel akan membom rumah sakit. "Tapi para staff tetap bekerja dan berkata bahwa mereka tidak akan meninggalkan Gaza," tutur Reyhana.
Yang paling dikhawatirkan Reyhana adalah anak-anak Gaza yang menderita trauma usai perang. Menurutnya anak-anak itu membutuhkan terapi psikologis agar kelak bisa tumbuh dewasa dengan jiwa yang sehat. (ln/iol)