Sikap Hamas terhadap Israel nampaknya mulai melunak mendekati pelaksanaan pemilu parlemen Palestina yang rencananya digelar 25 Januari mendatang. Ini terlihat dari perubahan manifesto politik Hamas yang tidak lagi mencantumkan seruan bagi penghancuran negara Israel.
Harian Inggris The Guardian menulis, faksi pejuang terkuat di Palestina, Hamas, masih menyerukan perlawanan bersenjatan terhadap pendudukan Israel, namun Hamas menarik manifesto politiknya yang dibuat sejak tahun 1988 tentang desakan penghancuran negara Israel dan pendirian negara Palestina.
"Manifesto itu tidak menyebut-nyebut penghancuran negara Yahudi dan malah lebih bersikap ambigu dengan mengatakan bahwa Hamas telah memutuskan untuk ikut bersaing dalam pemilu karena Hamas ingin memberikan kontribusi bagi pendirian negara merdeka yang beribukota di Yerusalem," tulis The Guardian.
Hamas Tetap Angkat Senjata
Di sisi lain, Guardian menulis bahwa Hamas tetap menekankan pentingnya perjuangan senjata dalam menghadapi Israel. Ini tersirat dari manifesto politik Hamas yang antara lain berbunyi, "Bangsa kita dalam tahap pembebasan nasional dan berhak melakukan tindakan untuk mendapatkan kembali hak-haknya serta menghentikan penjajahan dengan menggunakan berbagai cara, termasuk perlawanan senjata."
Harian The Guardian mengutip salah saeorang kandidat pemilu Hamas di Jalur Gaza, Gazi Hamad yang mengatakan bahwa manifesto itu merefleksikan posisi Hamas yang mau menerima adanya negara sementara berdasarkan perjanjian perbatasan tahun 1967 tapi menyerahkan keputusan final pada generasi penerusnya, apakah akan mengakui Israel.
"Hamas bicara soal diakhirinya penjajahan sebagai dasar didirikannya sebuah negara, tapi pada saat yang sama, Hamas masih belum siap untuk mengakui keberadaan negara Israel," kata Gazi Ahmad pada The Guardian.
"Kami tidak bisa menghentikan perlawanan bersenjata karena wilayah kami di Tepi Barat dan Yerusalem Timur diduduki. Itu adalah wilayah yang kami perjuangkan untuk merdeka," sambung Ahmad.
Meski demikian, tambah Ahmad, perlawanan bersenjata bukan lagi strategi utama Hamas. "Kebijakan angkat senjata tetap ditingkatkan, tapi itu bukan lagi prioritas kami. Kami tahu, pertama kali kita harus melakukan upaya untuk memecahkan persoalan internal terkait dengan masalah korupsi, pemerasan, kekacauan, inilah yang menjadi prioritas kami. Karena jika kami bisa mengubah situasi bagi rakyat Palestina, akan membuat posisi kami bertambah kuat," papar Ahmad.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Hamas sedang membangun startegi politik baru yang akan melibatkan seluruh kekuatan di Palestina, tidak hanya didominasi Fatah. "Kami akan mendiskusikan tentang strategi negosiasi dan bagaimana kami bisa menyelesaikan konflik dengan Israel dengan cara-cara yang lain.," jelas Ahmad.
Sementara itu, Ghassan Khatib, menteri kabinet Palestina dan anggota Partai Rakyat Palestina pada The Guardian mengatakan, Hamas terpaksa menghadapi kenyataan seiring dengan kesiapannya untuk duduk di parlemen dan itu akan termasuk penyelesaian konflik lewat cara negosiasi dengan Israel.
"Dengan masuknya Hamas ke dalam sistem, merupakan perkembangan yang positif di mana mereka harus mengikuti aturan yang berlaku serta menghormati pendapat pemerintah yang ambil bagian dalam perjanjian perbatasan tahun 1967. Ini akan makan waktu, namun Hamas tidak lagi memanfaatkan milisinya, tapi semata-mata kekuatan politik saja," ujar Khatib.
Israel Tetap Tolak Hamas
Melunaknya sikap Hamas, ternyata tidak membuat Israel mengubah sikapnya terhadap Hamas. Israel tetap beranggapan keikutsertaan Hamas dalam pemerintahan di Palestina akan merusak prospek negosiasi damai antara Palestina dan Israel.
Menteri Pertahanan Israel Shaul Mofaz seperti dikutip AFP mengatakan bahwa Israel tidak akan mengakui keberadaan Hamas di pemerintahan Palestina setelah pemilu parlemen nanti. "Kami tidak akan menerima kelompok teroris dalam pemerintahan otoritas Palestina dan kami akan meminta Mahmud Abbas (Presiden Palestina) membeberkan rencananya untuk menumpas organisasi teroris," kata Mofaz.
Hal serupa diungkapkan pejabat sementara kantor PM Israel, Ehud Olmert. Dalam pembicaraan telepon dengan Presiden AS, George W. Bush Kamis (12/1) kemarin, Olmert mengatakan bahwa proses perdamaian di Timur Tengah tidak akan mengalami kemajuan jika Hamas masuk dalam sistem pemerintahan di Palestina.
Olmert juga mengatakan, sebagai pemimpin Palestina, Mahmud Abbas harus ‘mengambil langkah untuk menumpas terorisme dan melarang organisasi teroris, atau tidak akan ada kemajuan dalam pemerintahan Palestina karena ada organisasi teroris didalamnya.’ (ln/iol/alz)