Maka misalnya, pada bulan November lalu, Grand Mufti Saudi, Abdul Aziz Al-Sheikh membuat komentar yang mengejutkan. Katanya, memerangi orang-orang Zionis-Yahudi seperti yang dilakukan HAMAS adalah haram. Pernyataan Grand Shaikh itu disambut suka cita di Israel. Menteri Komunikasi Zionis-Israel, Ayub Kara, bahkan mengundang sang Mufti untuk berkunjung ke wilayah Palestina yang dijajah Zionis-Israel.
Sikap politik Saudi dapat kita jelaskan begini. Sejak lama, Saudi Arabia memiliki hubungan mesra dengan Amerika. Hubungan itu menjadi semakin intim menyusul berbagai (ancaman) konflik di Saudi Arabia dan kawasan sekitarnya.
Saudi misalnya, memiliki potensi konflik dalam hal transisi kekuasaan (Raja Salman ke Pangeran Muhammad) menyusul penahan sejumlah pangeran dan pengusaha beberapa waktu lalu.
Saudi memiliki ancaman eksternal dari kalangan Syiah mulai dari Iran, Houthi (Yaman), Hezbollah (Lebanon) dan Basyar al-Asad (Suriah). Bahkan, penembakan roket ke Riyadh yang dilakukan oleh Houthi menjadi alarm yang mengejutkan.
Ketiga: Membiarkan Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah mengakui perampasan atas tanah Palestina. Seperti kita ketahui, Israel mulai menduduki Tepi Barat (West Bank) dan Jerusalem Timur setelah perang Arab-Israel tahun 1967.
Sejak itu Israel terus ekspansif menguasai Jerusalem. Tepatnya pada tahun 1980, Israel mendeklarasikan Jerusalem (al-Quds) sebagai “undivided and eternal capital of Israel.” Sampai saat itu, tak ada satu pun negara yang mau memindahkan kedutaan mereka ke Jerusalem walaupun memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Kini kata-kata yang sama, (eternal capital of Israel) digunakan Donald Trump pada konferensi pers Rabu 06 Desember lalu. Memindahkan Kedutaan Amerika ke Israel adalah juga janji politik Donald Trump. Maka, bagi Donald Trump, hal ini adalah janji kampanye yang harus dipenuhinya di tengah ancaman impeachment (pemecatan) akibat dugaan keterlibatan Russia dalam pemenangannya sebagai presiden.