Masih banyak halangan bagi pembentukan pemerintahan koalisi Palestina. Selain tekanan asing, kini masalah muncul dari soliditas politik dalam negeri Palestina yang menolak berkoalisi dengan pemerintahan yang akan dibentuk.
Front Rakyat Pembebasan Palestina mengikuti jejak Harakah Jihad Palestina, menolak berkoalisi dalam pemerintahan nasional yang akan dibentuk Hamas dan Fatah. Sementara Front Demokratik Pembebasan Palestina, mengkritik hasil Kesepakatan Makkah dan diduga juga akan melakukan pemboikotan terhadap pemerintahan koalisi nasional.
Dalam keterangan pers, Front Rakyat Pembebasan Palestina mengatakan, “Kami menyatakan tidak terlibat dalam koalisi dengan pemerintah yang akan datang karena permaslaahan politik. Terutama terkait penolakan kami terhadap poin yang tertulis dalam mandat pembentukan pemerintahan baru yang diberikan Mahmud Abbas kepada Ismail Haniyah, untuk menghormati kesepakatan politik, keamanan, ekonomi yang pernah ada antara pimpinan PLO dan Israel sebelum ini. ”
Menurut Front Rakyat Pembebasan Palestina, redaksi yang termuat dalam surat perintah itu sama saja dengan "mengakui eksistensi Israel’" yang telah melakukan perampasan, kekerasan dan terorisme dan sama artinya mengakui penghentian aksi perlawanan terhadap penjajah Israel, karena apa yang terdapat dalam perundingan antara PLO dan Israel berisi pengakuan terhadap keberadaan Israel di Palestina. Sementara di sisi lain, soal pengakuan terhadap eksistensi Israel itu berlawanan dengan hasil kesepakatan nasional.
Pihak FRP mengatakan, sebelum ini sudah pernah meminta kepada Presiden Abbas dan PM Haniyah agar redaksi kesepakatan Makkah itu dikaji kembali dan dibahas bersama. Namun menurut Khaleda Jarar, wakil fraksi parlemen FRP, pihak Abbas dan Haniyah mengatakan apa yang sudah dihasilkan itu sudah tidak mungkin didiskusikan lagi. FRP saat ini memiliki tiga kursi di parlemen Palestina dari total 132 kursi.
Selanjutnya, Jihad Islami menyatakan pula penolakannya untuk koalisi dengan pemerintahan nasional baru. Alasan Jihad Islami serupa dengan FRP, namun ditambah dengan asumsi bahwa pemerintah mendatang tidak akan bisa menjalani pemerintahannya dengan baik kecuali bila dengan upaya membebaskan seluruh tanah Palestina dahulu.
“Dengan begitu, pemerintahan Palestina mendatang akan mengalami kekurangan, baik dari aspek wilayah penguasaan maupun roda pemerintahan, ” ujar Khalid Bathsh, pimpinan Jihad Islami. (na-str/iol)