Kekhawawatiran ancaman perang saudara terus membumbung di langit Palestina. Perbedaan yang terus menerus terjadi dan sikap masing-masing pihak antara Hamas dan Fatah yang sama-sama keras, kian memunculkan kekhawatiran masyarakat Palestina. Sebagian penduduk sudah dibayangi ketakutan jika konflik yang tak kunjung usai itu benar-benar terwujud dalam bentuk perang saudara yang lebih hebat dan saling bunuh antar sesama bangsa Palestina.
Ini bukan ungkapan mendramatisir konflik. Tapi memang menjadi bagian dari komentar sejumlah pengamat soal Palestina melihat konflik Hamas-Fatah beberapa waktu terakhir. Ada pula yang memandang situasi Palestina akan tetap terkendali dan tidak akan terjadi perang saudara yang dikhawatirkan. Sementara kelompok pengamat lain, mengambil sikap netral dan cenderung tidak menyampaikan pendapat.
Awal Perselisihan Itu
Rangkaian perselisihan Hamas-Fatah mulai meruyak sejak sebelum pemilu legislatif pada akhir Januari 2006 ini. Perang statemen yang berisi saling tuding, juga menyebarnya sejumlah media dari kedua belah pihak dalam masa kampanye, semakin meruncingkan perselisihan Hamas-Fatah.
Perbedaan makin tajam tatkala hasil pemilu legislatif membukukan kemenangan Hamas secara telak di kursi Parlemen. Dari sanalah kemudian, muncul sejumlah aksi senjata yang melibatkan Hamas dan Fatah.
Hanya 24 jam pascapengumuman hasil pemilu, konflik Hamas-Fatah sudah terjadi lagi, baik melalui statemen maupun media massa yang berisi saling tuduh hingga menjadi semacam debat kusir yang tak ada ujung pangkalnya. Ketika itu, (28/1), Presiden Palestina Mahmoud Abbas memutuskan koordinasi 3 sayap keamanan Palestina, baik militer, polisi maupun sayap keamanan kota, langsung berada di bawah kontrol presiden. Bukan dikendalikan oleh pemerintah.
Perselisihan terus terjadi hingga dalam bentuk kontak senjata yang meletus pertama kali pada tanggal 7 Mei 2006, hingga menewaskan 3 orang. Latar belakangnya konon dipicu oleh penculikan 3 orang anggota Hamas oleh kelompok Fatah. Hamas sudah berupaya melakukan negosiasi untuk melepas korban penculikan, namun Fatah tetap bergeming untuk menahan mereka. Selanjutnya, Hamas yang berganti menculik 4 orang anggota Fatah dengan tujuan melepaskan 3 orang anggotanya yang diculik Fatah. Akhirnya, para korban penculikan itupun dibebaskan.
Tak berapa lama setelah peristiwa itu, sekelompok orang yang mengaku dari kelompok Fatah menyerang rumah salah satu pemimpin Izzuddin Al-Qassam yang merupakan sayap militer Hamas yakni Khalid Abu Anazah. Saat penyerangan itulah terjadi kontak senjata sengit hingga menewaskan dua orang anggota keamanan presiden di tambah 10 orang yang terluka. Tapi selanjutnya kontak senjata terjadi lagi di tempat lain, di Khan Yunis, terhadap anggota Izzuddin Al-Qassam, hingga mengakibatkan pejuang Hamas itu meninggal.
Saat itu, pemerintah Palestina dan seluruh komponen nasional berupaya meredam konflik. Hasilnya, Hamas dan Fatah sepakat membentuk Komisi Tinggi untuk menjembatani komunikasi antarkedua belah pihak dan meredam pertumpahan darah berikutnya.
Tapi pada hari berikutnya, 3 orang Palestina terluka di Timur Khan Yunis dalam kontak senjata yang terjadi setelah kehadiran sejumlah anggota sayap keamanan milik Fatah. Maka, pada 9 Mei, terjadi lagi kontak senjata antara Hamas dan Fatah di Ghaza. Kontak senjata kali ini melukai lebih dari 10 orang. Menurut sumber lokal, sejumlah peristiwa tembak menembak itu terjadi dekat dengan pemimpin Fatah Samer Masyhuri. Usai pertikaian itu, dilakukan lagi pertemuan intensif antara Hamas dan Fatah untuk meredam kemungkinan yang buruk.
Seakan sulit dipadamkan, hanya beberapa hari setelah kesepakatan itu, terjadi lagi krisis antara Hamas dan Fatah. Seorang anggota Izzuddin Al-Qassam ditangkap oleh sejumlah orang bersenjata di Gaza pada 12 Mei. Sementara di Khan Yunis anggota Hamas juga ada yang akan diculik, namun berhasil diselamatkan. Hamas menuding sayap keamanan presiden Fatah unit Firqah Maut bertanggung jawab atas dua kejadian tersebut.
Dari sini, konflik Hamas-Fatah mulai memunculkan trend baru dengan culik menculik tokoh-tokoh kedua belah pihak. Sejumlah tokoh Hamas mengalami upaya penculikan, demikian pula dengan tokoh Fatah. Dan saling tuding pun terjadi lagi.
Kesulitan terbesar Palestina dalam konteks ini adalah, menyebarnya senjata yang masih dimiliki oleh unit unit pejuang Palestina. Sehingga sangat mudah bagi oknum tertentu menggunakan senjata dalam lingkar keputusannya sendiri maupun berkelompok. Sementara melucuti senjata dari mereka juga sesuatu yang nyaris mustahil, mengingat bangsa Palestina membutuhkan tameng pertahanan dari penjajah Israel.
Perang Saudara di Palestina, Mungkinkah?
Memang masih terdapat kemungkinan besar untuk reda nya konflik Hamas dan Fatah. Antara lain, persoalan pendudukan dan perampasan tanah Palestina yang masih tetap dilalui bangsa Palestina oleh Israel. Kondisi kebersamaan sebagai bangsa terjajah, setidaknya bisa menghimpun persamaan dan kesatuan lebih kuat antara anak bangsa Palestina. Seperti diungkapkan sebagian pandangan dalam situs Islamonline, sulit dibayangkan terjadinya konflik horizontal yang begitu meluas di Palestina, lantaran mereka masih berstatus sebagai bangsa terjajah. Status itu cenderung lebih menyatukan mereka.
Meskipun bukan tidak mungkin perselisihan makin meruyak dengan intervensi dari pihak-pihak luar. Termasuk si perampas Palestina, Zionis Israel, melalui agen intelejennya yang diyakini sudah lama merasuk ke sejumlah organisasi rakyat Palestina. Tidak heran jika ulama internasional Yusuf Qardhawi beberapa waktu lalu menggelar muktamar ulama Islam sedunia, yang juga bermisi untuk menyatukan seluruh komponen perjuangan di Palestina, khususnya Hamas dan Fatah. Sayangnya, dalam konferensi liga ulama Islam itu, Fatah absen. Dan konflik demi konflik pun masih berlanjut hingga kini.
Pertikaian senjata antar komponen pejuang Palestina, jelas sangat merugikan. Selain akan menguras perhatian, tenaga dan dana cukup besar, juga semakin memperburuk imej Palestina. Sebagian pihak mengkhawatirkan kemunculan tragedi Afghanistan yang terkoyak oleh perselisihan antar sesama anak bangsa beberapa tahun silam. Toh, sejumlah pengamat masih memandang mustahil sejarah Afghanistan terjadi di Palestina. Mengingat situasinya yang jauh berbeda antara struktur sosial Afghanistan dan Palestina.
Masyarakat Afghanistan sudah puluhan tahun hidup dalam peperangan yang tidak menyisakan mereka untuk memiliki pendidikan yang cukup. Mereka hidup terlatih dalam suasana perang ditambah suplai senjata luar biasa yang menyebabkan mereka begitu tenggelam dalam suasana perang. Sementara Palestina, tumbuh sebagai bangsa terjajah yang dinamis secara sosial dan pendidikannya. Palestina, meski lebih dari separuh abad terjajah, namun memiliki kualitas SDM yang tangguh dan sangat diperhitungkan oleh musuh-musuhnya. Di samping itu, mereka juga kemungkinan masih lama melewati fase kemerdekaan yang selalu dihambat oleh dunia pro Israel. (na-str/iol)