Demo massal
Selama sepekan terakhir, unjuk rasa orang Palestina terjadi di kota-kota di seluruh Israel, dari Gurun Naqab (Negev) di selatan hingga Ramla, Yafa dan Lydd (Lod dalam bahasa Ibrani) di wilayah pusat, hingga wilayah “Segitiga” dan ke Haifa dan Nazareth di utara.
Massa berdemonstrasi sebagai bentuk solidaritas dengan keluarga Palestina di Sheikh Jarrah, yang terancam diusir paksa dari rumah mereka, dan menentang penyerbuan Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa, yang menyebabkan ratusan warga Palestina terluka.
Ini bukan pertama kalinya warga Palestina di Israel memprotes kebijakan Israel.
Pada 1976, enam warga Palestina ditembak dan tewas karena memprotes perampasan tahan massal Israel. Kejadian ini dikenal dengan Hari Tanah dan diperingati setiap tahun pada tanggal 30 Maret.
Pada Oktober 2000, 13 warga Palestina ditembak mati saat mereka bergabung dalam Intifada kedua, dipicu oleh kunjungan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke kompleks Al-Aqsa.
Namun, Israel secara historis telah memberlakukan kebijakan fragmentasi penduduk Palestina di bawah kendalinya, baik di dalam negeri maupun di wilayah Palestina yang diduduki, membuat pertunjukan solidaritas yang berkelanjutan antara orang-orang Palestina di berbagai wilayah Palestina yang bersejarah menjadi semakin sulit.
Tetapi para ahli mengatakan unjuk rasa yang berkelanjutan di dalam Israel menunjukkan betapa terhubungnya orang-orang Palestina sebenarnya.
“Peristiwa baru-baru ini menyoroti tidak hanya kesatuan sistem penindasan kolonial, tetapi juga persatuan perjuangan Palestina,” jelas Nimer Sultany, pengamat hukum publik di Fakultas Studi Oriental dan Afrika Universitas London, kepada Al Jazeera.
“Seperti dalam putaran unjuk rasa sebelumnya, seperti pada Oktober 2000, pengunjuk rasa Palestina di wilayah 1948 dalam praktiknya menunjukkan perlunya dan kepraktisan perjuangan anti-kolonial.”