Referendum Palestina sebagai Alasan Percepatan Pemilu Gulingkan Hamas


Sejumlah pengamat dan analis politik Palestina membaca skenario yang paling mungkin digulirkan pascareferendum yang dikehendaki Presiden Palestina Mahmud Abbas. Kepada Islamonline, mereka mengungkapkan bahwa skenario pertama dalam referendum itu adalah, jika rakyat menyatakan “ya” terhadap persoalan pengakuan eksistensi Israel, sebagaimana rekomendasi sejumlah tahanan Palestina yang berada di penjara Israel, Abbas akan segeramelangsungkan pemilu parlemen lagi.

Sedangkan skenario kedua adalah, jika rakyat mengatakan “tidak” terhadap eksistensi Israel, maka hal ini akan menjadi kemenangan bagi Hamas yang mungkin bisa menggulingkan Abbas dari kursi kepresidenan.

Abbas sendiri hingga kini masih memberi perpanjangan waktu 3 hari untuk meminta keputusan final dari Hamas yang masih menolak eksistensi Israel dan menolak referendum. Nabil Abu Radeina, jubir Abbas mengatakan, Abbas akan mengulur waktu 48 jam untuk menanti keputusan Hamas dan jika Hamas tidak setuju pihaknya akan segera merancang penyelenggaraan referendum.

Pengamat Palestina Mushtafa Shawaf mengatakan, “Kami menerima pemilu legislatif sebagai hasil final terhadap sikap Abbas bahwa mereka menolak Israel. Sementara Abbas memandang rakyat Palestina akan merubah penilaiannya terhadap Hamas dan memberi dukungan kepada Fatah kembali.”

Ia menambahkan, jika Abbas bisa memperoleh suara ‘ya’ terhadap rekomendasi tahanan yang menginginkan eksistensi Israel, maka Presiden akan membentuk pemerintahan nasional di atas rekomendasi tahanan tersebut.

Namun koresponden Islamonline di Palestina mengatakan, undang-undang dasar pemerintah Palestina tidak menyinggung soal percepatan pemilu. Karenanya, pendukung Hamas memandang, tidak adanya undang-undang yang menyebut percepatan pemilu berarti “presiden tidak boleh melakukannya”. Sementara pendukung Fatah menganggap, selama masalah itu tidak dijelaskan secara definitif dalam undang-undang, maka tidak ada larangan oleh undang-undang untuk menggelar percepatan pemilu.

Sejumlah pengamat Palestina juga melihat dalam situasi tekanan dan krisis ekonomi bertubi-tubi, bukan tidak mungkin rakyat Palestina mengambil jalur pemikiran pragmatis mengakui eksistensi Israel. Meskipun sesungguhnya pengakuan terhadap eksistensi Israel tidak membuat mereka mendapat kehidupan lebih baik. Lantaran sejarah Palestina sebelumnya sudah cukup menjadi bukti bahwa pengakuan yang pernah diberikan pemerintah Palestina kepada Israel dalam perjanjian Oslo, juga tidak mengurangi penderitaan rakyat Palestina. (na-str/iol)