Sejak pagi buta sekali, Marwan Abd Rabbu sudah berdiri dalam antrean panjang di depan gedung Al-Salah Society. Al-Salah adalah sebuah organisasi sosial Islam yang membantu rakyat miskin di Gaza, dan Marwan—tinggal di kamp pengungsian Al-Maghazi, Gaza, sangat membutuhkan bantuan itu.
Marwan, 42, tinggal bersama 10 orang anggota keluarga lainnya. Bantuan dari Al-Salah sangat berarti untuknya. “Mereka memberikan kami makanan, dan tanpa bantuan mereka, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya juga mungkin tidak akan bisa memberikan keluarga saya makanan untuk iftar.” ujar Marwan.
Marwan tentu saja tidak sendirian. Ia adalah satu dari 80% penduduk Gaza yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian keluarga bergantung pada kerabatnya yang memiliki gaji dari bekerja. Luar biasanya di Gaza, antara satu keluarga dengan keluarga lain saling membantu sebisa mereka. Sejak permulaan Ramadhan, Majed Ibrahim misalnya, seorang profesor universitas, membeli barang, membungkusnya, dan memberikannya pada empat orang adik perempuannya yang sudah menikah namun kekurangan.
Selama Ramadhan, toko-toko di Gaza sepi pengunjung. Rakyat tidak bisa membeli yang mereka perlukan. Gamal Alyan yang mempunyai satu restoran terbesar di Gaza, sering kali menyajikan supnya yang terkenal, namun kemudian tak mendapatkan pembayaran apa-apa. “Semua barang yang ada di Gaza terlalu mahal untuk rakyat.” terang Alyan.
Selain harga-harga yang sangat mahal, bayangkan bawang satu kilo saja bisa mencapai Rp. 40.000, listrik di Gaza sering kali mati. Dan itu terjadi tiap hari. Ini karena Israel dengan seenaknya memutuskan sambungan infrastruktur di Gaza. Abdel-Rahman Oudah, 49, tinggal di Birkat Al-Wezz di Gaza pusat, mengatakan bahwa istrinya harus membuat roti sebelum Shubuh tiba, karena setelah itu listrik akan mati. Kemudian roti yang telah dibuat itu dipanaskan sepanjang hari oleh cahaya matahari.
Tahun ini, tarawih di Gaza dilakukan lebih cepat dan lebih sedikit jumlah rakaatnya. Ini karena situasi yang serba sulit. Setelah Ramadhan tahun ini, Gaza juga menghadapi kesulitan yang lain; tahun ajaran baru sekolah. Anak-anak perlu seragam, tas, peralatan tulis, dan sepatu. Abdul Karim Rawafaah, 41, sudah seharian berkeliling berusaha mendapatkannya dari sekarang, namun selalu pulang ke rumah tenda pengungsiannya dengan tangan kosong.
Harganya pun mahal sekali. Satu celana seragam sekolah bisa dihargai Rp. 200.000—bandingkan dengan tahun lalu yang hanya berharga Rp. 30.000. Abdul Karim tidak lagi memikirkan pakaiannya sendiri, namun ia memikirkan terus-menerus seragam sekolah anaknya., karena sudah bertahun-tahun anak-anaknya berseragam sekolah yang tak pernah diganti.
Inilah gambaran umum di Gaza, akibat dari blokade Israel. Pakaian dan makanan menjadi mahal dan langka karena sulit sekali menyelendupkannya ke Gaza. Semua barang yang masuk ke Gaza saat ini haruslah melewati jalan rahasia, karena blokade Israel ada di mana-mana. (sa/alahram)