Rakyat Palestina hari Selasa (11/11) memperingati empat tahun wafatnya mantan pemimpin Palestina,Yaser Arafat dalam suasana keprihatinan. Mereka prihatin melihat perpecahan yang terjadi antara kubu Hamas dan Fatah, dua faksi terbesar dan paling berpengaruh di Palestina.
Sebagian rakyat Palestina menyalahkan Hamas dan Fatah yang dianggap menjadi penyebab gagalnya dialog. Di sisi lain, Fatah dan Hamas juga saling tuding bahwa masing-masing pihak telah menghambat proses perdamaian.
"Saya menyalahkan Fatah dan Hamas, mereka gagal berdialog," kata Mahmud Juned, seorang warga Gaza.
Sementara Presiden Palestina dan Pimpinan Fatah Mahmud Abbas, dalam pidato memperingati wafatnya Yaser Arafat menyerang Hamas dengan tudingan bahwa Hamas telah melakukan sabotase untuk menggagalkan rekonsiliasi lewat pertemuan yang seharusnya digelar di Kairo, Mesir tanggal 10 November kemarin.
Seperti diberitakan, pertemuan faksi-faksi Palestina yang digagas Mesir untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu di Palestina tidak jadi dilaksanakan karena sejumlaf faksi termasuk Hamas menolak ikut dalam pertemuan tersebut dengan alasan Mesir tidak mengakomodasi aspirasi mereka dan hanya mengakomodasi aspirasi Fatah.
"Mereka telah kehilangan kesempatan dan yang sedang saya bicarakan adalah Hamas," kata Abbas.
Hamas merespon pernyataan Abbas dengan mengatakan bahwa Abbas adalah "bagian dari rencana AS dan Zionis" di wilayah Palestina.
"Saya yakin, jika ia (Arafat) masih hidup, kita akan menghadapi situasi yang berbeda. Arafat mau berdialog dengan Hamas pada tahun 2002 dan berharap untuk membentuk sebuah persatuan baru. Sedangkan Abu Mazin (Abbas) justru bersusah payah untuk mengganggu upaya dialog yang dilakukan saat itu," tukas pejabat senior Hamas, Osama Hamdan.
"Kita semua tahu siapa sebenarnya Abu Mazin, dan kita tahu ia tidak peduli dengan persatuan Palestina," sambung Hamdan.
Tapi sebagian besar rakyat Palestina tidak peduli dengan pernyataan kedua tokoh Hamas dan Fatah. Mereka tetap mengatakan bahwa keduabelah bersalah. Kondisi ini mulai meruntuhkan kepercayaan mereka baik pada Fatah maupun Hamas.
"Dua-duanya (Hamas-Fatah) pembohong. Mereka mengatakan akan akan berdialog, tapi dialog itu tidak pernah terjadi. Rakyat sudah tidak percaya lagi." kata Muhammad Nabil, seorang penjaga toko di Gaza.
Meski demikian, masih ada sebagian rakyat Palestina yang tetap menggantungkan harapan pada Hamas dan Fatah, bahwa keduanya bisa bersatu kembali dan bersama-sama membangun Palestina.
Abed Ibrahim adalah salah seorang yang masih mempunyai harapan itu. "Mimpi mereka bersatu kembali bukan tidak mungkin, yang dibutuhkan adalah kompromi antara keduabelah pihak. Kami sudah tidak tahan lagi melihat perpecahan ini, karena membuat hidup kami makin berat," tukas Ibrahim.
Ia menambahkan, Hamas dan Fatah harus menunjukkan niat yang baik untuk berdialog satu sama lain. Satu hal yang juga dibenarkan oleh Juned. "Mereka harus paham, bahwa konsesi yang diberikan untuk masing-masing pihak bukanlah hal yang memalukan, tapi akan meningkatkan popularitas mereka di mata rakyat," kata Juned.
Lain lagi pendapat Riyad al-Haddad, teknisi listrik berusia 57 tahun. Menurutnya, solusi yang terbaik adalah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
"Biarlah rakyat yang memutuskan siapa yang akan memerintah Palestina. Semua pihak harus menunjukkan komitmennya siapa pun pemimpin yang dipilih rakyat," tandas al-Haddad.
Pertikaian antara Hamas dan Fatah meruncing ketikan Presiden Abbas secara sepihak mencopot jabatan perdana menteri yang dipegang oleh Ismail Haniyah dari Hamas. Pencopotan ini menimbulkan bentrokan fisik dan ujungnya, Hamas mengambil alih Gaza dan mendudukinya sampai sekarang. Presiden Abbas berani mencopot Haniyah dari jabatan perdana menteri karena dijanjikan bantuan oleh AS. (ln/iol/aljz)