Presiden Palestina Keluarkan Ultimatum Gelar Referendum Rakyat

Presiden Palestina Mahmud Abbas menetapkan batas waktu 10 hari untuk menentukan kerangka bersama faksi-faksi di Palestina terkait masalah hubungan Palestina dengan Israel. Jika selama batas waktu itu tidak tercapai kesepakatan, Abbas akan melaksanakan referendum seperti yang diusulkan oleh para pemimpin faksi yang masih berada dalam penjara untuk menyelesaikan krisis di Palestina.

Pengumuman itu disampaikan Abbas, Kamis (25/5) di hari pertama pertemuan antar faksi Palestina di Ramallah, Tepi Barat yang digelar untuk mencari titik temu atas perselisihan yang kian meruncing antara Hamas dan Fatah. Dalam pertemuan itu, baik Abbas maupun Ismail Haniyahh, perdana menteri Palestina dari Hamas, mendesak kelompok-kelompok bersenjata untuk menghentikan pertikaian satu sama lain.

"Jika tidak, saya akan menyerahkan dokumen bagi pelaksanaan referendum dalam waktu 40 hari," kata Abbas.

Usulan referendum ditanggapi berbeda oleh Hamas dan Jihad Islam. Bagi Hamas, jika Hamas menerimanya, maka secara implisit Hamas mengakui eksistensi Israel. Padahal dalam piagam politiknya, Hamas menyerukan penghancuran terhadap Israel.

Juru bicara Hamas di parlemen Aziz Dweik mengatakan, pihaknya menerima hak Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan, langkah referendum masih sangat ‘prematur’, karena semua faksi di Palestina belum diberi kesempatan untuk menyampaikan perbedaan pandangan mereka dalam pembicaraan itu.

"Usulan referendum menunjukkan adanya upaya untuk menekan, dengan menciptakan visi dan kondisi tertentu dalam dialog tersebut," kata Abu Zuhri pada AFP.

Penolakan keras atas usulan referendum dilontarkan oleh faksi bersenjata Jihad Islam. "Kami menolak referendum ini karena secara strategis akan melukai apa sebenarnya yang diinginkan rakyat Palestina," tegas Khalid al-Batsh, salah seorang pemimpin Jihad Islam di Jalur Ghaza.

Bagaimana dengan rakyat Palestina sendiri? Sebuah survey yang baru-baru ini dilakukan oleh Near East Consulting yang berbasis di Ramallah menunjukkan, 80 persen responden mendukung usulan para pemimpin faksi di penjara yang mengusulkan adanya referendum, yang diumumkan pada publik 10 Mei yang lalu.

Sementara itu, juru bicara Menlu Israel Mark Regev menyebut usulan Abbas itu sebagai ‘persoalan internal rakyat Palestina’, meski demikian Regev mengatakan bahwa Israel akan terus mengikuti perkembangannya.

"Apa yang harus diingat adalah keinginan komunitas internasional yang menyerukan agara Hamas mengakui hak Israel untuk eksis, secara menyeluruh menghentikan aksi terorisme serta kekerasan dan komitmen dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani dalam proses perdamaian di Timur Tengah." kata Regev.

Bantuan Senjata Israel

Sementara faksi-faksi di Palestina berkumpul untuk mecari solusi krisis di negerinya. Juru bicara Presiden Palestina, Nabil Abu Rudeina membantah informasi yang mengatakan Israel akan memberi bantuan pada pasukan keamanan yang loyal pada Abbas.

Sebelumnya, Israel melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa negara itu akan menyetujui pengiriman senjata-senjata ringan dan amunisi bagi pasukan keamanan yang loyal dengan Abbas.

"Peretz (menteri pertahanan) bersama Perdana Menteri Ehud Olmert telah memutuskan untuk menyetujui pengiriman persenjataan ringan dan amunisi untuk pasukan yang loyal pada Abu Mazin (Abbas)," kata seorang pejabat di kementerian pertahanan Israel pada AFP.

Abu Rudeina menyatakan bahwa pengumuman yang dibuat oleh kementerian pertahanan Israel itu tidak benar, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. (ln/aljz)