Presiden Palestina Dihadapkan pada Tiga Pilihan Sulit

Presiden Palestina Mahmud Abbas dihadapkan pada tiga pilihan untuk mengakhiri krisis ekonomi dan kemanusiaan rakyat Palestina. Tiga pilihan itu antara lain tetap membiarkan Hamas berkuasa, pembubaran pemerintahan atau referendum untuk pelaksanaan pemilu yang baru.

Pilihan itu diajukan sebuah tim dari PLO setelah upaya untuk mengajak Hamas membentuk pemerintahan koalisi dengan Fatah menemui jalan buntu. Abbas menolak untuk memberikan penjelasan tentang tiga opsi tersebut ketika ditanyai para wartawan di Ramallah, Kamis (7/12).

Ia hanya mengatakan,"Sayang, dialog kami menemui jalan buntu, meski demikian kami tetap berharap bisa membentuk pemerintahan nasional bersatu," dan negosiasi-negosiasi baru masih mungkin dilakukan.

Namun Abbas sudah membahas ketiga pilihan tersebut dengan anggota PLO pada Rabu malam dan berharap sudah bisa mengumumkan apa keputusannya untuk langkah ke depan, pada minggu depan.

Ketiga pilihan itu merupakan pilihan yang serius dan sama sulitnya bagi Abbas. Membiarkan Hamas berkuasa akan mengakibatkan dunia internasional tetap melakukan boikot bantuannya pada pemerintahan Palestina. Jika Abbas membubarkan pemerintah, anggota Hamas yang memiliki suara mayoritas di Parlemen akan melakukan upaya apapun untuk mencegah pembentukan kabinet baru. Dan kalau digelar pemilu baru, tidak ada jaminan Fatah akan menang.

Salah seorang anggota panel yang mengajukan tiga opsi tersebut, Saleh Raafat mengatakan, ada kemungkinan dilakukan kombinasi antara opsi-opsi itu.

"Kami punya dua rekomendasi," kata Raafat yang mewakili partai kecil PLO, FIDA.

"Pertama, membiarkan Hamas berkuasa dan Fatah menjadi oposisi, serta memberikan Hamas kesempatan untuk menyelesaikan krisis. Jika Hamas tidak mampu, maka kami akan melakukan pilihan kedua yaitu referendum untuk mempercepat pemilu," jelas Raafat.

Ia menambahkan, "Kami akan memberikan kesempatan bagi Hamas, tapi saya yakin Hamas tidak akan mampu melaluinya. Hamas tidak akan berhasil kecuali ia mengubah posisinya."

Sementara Hamas makin percaya diri bahwa ia mampu mempertahankan pemerintahannya tanpa bantuan Barat, karena mendapat bantuan dari dunia Arab. Hamas menolak ide mempercepat pemilu dan menegaskan pihaknya tidak akan melepaskan kekuasaan.

"Jika kita tidak bisa membentuk pemerintahan nasional bersatu, kami tidak akan mengabaikan kewajiban kami. Kami akan tetap menjalankan pemerintahan, bahkan jika bantuan sangat minim," kata Deputi Menteri Keuangan, Samir Abu Aisha.

Menteri Perburuhan dari Hamas, Muhammad Barghouti mengungkapkan, donasi dari negara-negara Arab masih bisa menopang jalannya pemerintahan. Ia menyebutkan janji negara Qatar yang akan memberikan bantuan sebesar 40 juta dollar sebulan untuk pembayaran gaji guru dan para pekerja pelayanan kesehatan.

"Ditambah dengan pendapatan lokal dan menurunnya biaya operasional, saya pikir kami bisa mengelolanya untuk menjaga keberlangsungan otoritas Palestina," kata Barghouti.

Unjuk Rasa

Di Gaza, pada Kamis kemarin, sekitar dua ribu pendukung Fatah melakukan aksi long march memprotes pemerintahan Hamas. Mereka mendesak Hamas agar segera mengakhiri boikot dunia Barat terhadap Palestina.

Pemimpin aksi unjuk rasa Abu Mussa mengatakan, "Rakyat yang kelaparan akan melakukan revolusi jika pemerintahan Hamas gagal mengakhiri boikot itu."

Negara-negara Barat yang dimotori AS, menghentikan bantuan bagi pemerintahan Hamas, karena sikap Hamas yang tidak mengakui eksistensi Israel dan dianggap tidak mau menghentikan kekerasan ke wilayah Zionis Israel. (ln/Guardian)