Presiden Palestina Mahmud Abbas nampaknya mulai kesal dengan sikap negara-negara Barat yang masih memberlakukan embargo ekonomi terhadap bangsa Palestina, meski sudah terbentuk pemerintahan nasional bersatu, kolaisi antara Hamas dan Fatah. Ia pun mengancam akan mengundurkan diri, jika dunia internasional tidak menghentikan boikotnya dalam dua bulan ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh seorang pemuka Fatah, faksi politik tempat Abbas bernaung dan salah satu faksi terkuat di Palestina.
"Dalam dua bulan ke depan, jika pengisolasian tidak diakhiri, Abu Mazen (Abbas) kemungkinan akan mundur, " kata sumber Fatah tadi seperti dikutip Reuters. Menurut kantor berita yang berbasis AS itu, Abbas melontarkan pernyataan rencana pengunduran dirinya itu hari Jumat (5/5) di sela-sela pertemuan para pejabat senior Fatah.
Abbas sudah berusaha melakukan pendekatan pada negara-negara Barat untuk mengakhiri sanksi ekonomi yang membuat kehidupan rakyat Palestina makin terpuruk, dengan melakukan kunjungan ke negara-negara Eropa dan Arab.
Lebih lanjut sumber Fatah tadi mengungkapkan, "Dia (Abbas) sangat frustasi atas masih berlangsungnya pengisolasian. Dia berharap dengan terbentuknya pemerintahan bersatu, sanksi akan diperlonggar, tapi itu tidak terjadi. Dia sangat frustasi. "
Terkait persoalan itu, Deputi Perdana Menteri Azzam Al-Ahmad yang berasal dari Faksi Fatah, pada akhir April kemarin mengatakan, pemerintahan bersatu selayaknya dibubarkan jika embargo masih berlangsung dalam tiga bulan mendatang. Sedangkan Perdana Menteri Ismail Haniyah juga menyatakan, pemerintahan bersatu akan melakukan melakukan penilaian kembali atas opsi-opsi merek dalam dua bulan ini, jika sanksi masih diterapkan.
Abbas Didesak Gelar Pemilu Dini
Para analis menyatakan, keinginan Abbas mengundurkan diri sebagai protes atas tekanan kuat Barat yang mendesaknya untuk menggelar pemilu dini di Palestina. Seorang pejabat senior Palestina mengakui bahwa negara-negara Arab dan Eropa telah meminta otoritas Palestina untuk menggelar pemilu dini secepatnya, agar sanksi ekonomi dan politik diakhiri. Dan para pejabat Arab, Eropa dan Palestina, kata sumber tadi, sudah melakukan pembicaraan secara marathon untuk membahas bagaimana pelaksanaannya jika pemilu dini harus digelar.
Sejumlah pejabat AS yang tidak mau disebut namanya pada Reuters mengatakan, prospek untuk melakukan pemilu dini akan makin terbuka jika menteri-menteri non-Hamas mundur secara massal. "Kemudian Abbas bisa menetapkan dekrit selama satu tahun sampai pemilu dilaksanakan, " kata mereka.
Hamas tentu saja menolak wacana pemilu dini. "Rakyat Palestina sudah menyatakan suara finalnya dalam pemilu parlemen tahun 2006. Pemilu anggota parlemen adalah pemilu yang sah dan adil. Kami menolak segala bentuk kudeta terhadap pemilu atau demokrasi, " kata juru bicara Hamas, Ismail Ridwan.
Sementara itu, ribuan pekerja di Palestina melakukan aksi mogok pada Rabu (2/5) kemarin. Mereka memprotes ketidakmampuan pemerintah untuk membayar penuh gaji mereka. Para pejabat pemerintah di Palestina khawatir aksi mogok ini akan berlanjut dan akan melumpuhkan roda pemerintahan Palestina, seperti yang terjadi tahun lalu, saat pegawai negeri sipil Palestina melakukan aksi mogok selama 133 hari.
Di pihak lain, Menteri Keuangan Salam Fayyad pekan ini mengingatkan akan adanya krisis keuangan jika otoritas Palestina tidak lagi menerima dana-dana bantuan. (ln/iol)