Meski sejumlah lembaga kemanusian internasional dan lokal menegaskan krisis dan tragedi kemanusian tengah mengancam Palestina, namun PM Israel Ehud Olmert mengklaim bahwa saat ini tidak ada yang namanya krisis kemanusiaan.
Hal tersebut ditegaskan Olmert dalam wawancara dengan The New York Times seperti dikutip harian al-quds al-arabi, Sabtu (20/05). Menurut Olmert, berdasarkan informasi dari para jenderal militer Israel dan intelijennya, tidak ada yang namanya tragedi dan krisis kemanusiaan di wilayah Palestina.
“Kami akan membayar dengan kantong-kantong kami untuk memenuhi kebutuhan di rumah sakit-rumah sakit Palestina dalam waktu secepat mungkin,” klaim Olmert kepada New York Times. Olmert juga mengklaim bahwa dirinya tidak akan membiarkan seorang anak pun mati di rumah sakit Palestina karena tidak adanya peralatan.
Dia juga mengatakan bahwa dalam benaknya sudah terpikir untuk membuka gerbang Karni yang menghubungkan wilayah Israel dengan Jalur Gaza meski menurutnya ada bahaya keamanan.
Klaim Olmert ini jelas sangat bebeda dengan laporan sejumlah LSM lokal dan internasional yang ada di Palestina. Direktur operasional ICRC (International Committee of the Red Cross), Pierre Kraehenbuehl misalnya menyebut penghentian bantuan internasional bisa berdampak pada krisis menyeluruh di tanah Palestina. Kemudian Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) melalui direktur operasional, John Ging menyatakan, “Warga masyarakat di Gaza sangat bergantung pada bantuan negara-negara donor. Maka ketika bantuan itu dikurangi, akan ada konsekuensi yang timbul cepat atau lambat."
Komisariat HAM PBB di Al-Quds (OSHA) juga menyebut kriris kemanusiaan tengah mengancam rakyat Palestina. Riset yang dilakukan The Palestinian Centre for Human Rights (PCHR) menegaskan terjadi kenaikan tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah Palestina (74%) jika embargo ekonomi ini terus berlangsung. PBB memperkirakan tiga dari empat warga Palestina akan terpaksa hidup hanya dengan 1 dolar atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, separuhnya (dua dari empat) warga akan menjadi pengangguran. Bank Dunia dalam laporannya juga menyebutkan, pada akhirnya pemerintahan Palestina akan mengalami kelumpuhan total bila blokade ekonomi ini terus berlanjut.
Direktur operasional UNRWA, John Ging mengatakan, “Tragedi kemanusiaan tengah menunggu waktu di Jalur Gaza. Dan sekarang kami hanya bisa mengatakan bahwa krisis sudah semakin mencekik. Hal itu nampak dari terus berkurang dan langkanya kebutuhan pangan dan obat-obatan yang di Jalur Gaza.” Bahkan ada yang lebih parah dari itu, ujar Ging, karena UNRWA setiap bulan harus membayar 78.000 dolar sebagai pajak kepada pihak Israel karena truk-truk pengangkut bahan makanan dan obat-obatan terkatung-katung di gerbang penyeberangan Israel-Jalur Gaza dan tidak bisa dimasukan ke Jalur Gaza. Ging mengeluhkan hambatan yang menghalangi aktivitas UNRWA serta denda (pajak) yang harus dibayar agency, padahal pihaknya sangat membutuhkan dana itu.
Menurut Ging, penutupan gerbang-gerbang perbatasan antara Jalur Gaza dengan entitas Zionis Israel jelas menimbulkan krisis sangat serius di Jalur Gaza. “Kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza terancam bahaya, kami akan terpaksa menghentikan bentuan secara total apabila gerbang perlintasan tidak segera dibuka secepatnya,” ungkap Ging seraya menyebut kondisi di Jalur Gaza sangat gelap dan suram. (was/iol/alquds al’arabi)