eramuslim.com – Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan Perdana Menteri baru, Mohammad Mustafa, usai pendahulunya, Mohammad Shtayyeh, mundur pada Februari lalu.
Penunjukkan Mustafa sebagai PM Palestina baru ternyata memicu penolakan dari sejumlah kelompok perlawanan Palestina.
Kelompok Hamas, Jihad Islam, Popular Front for the Liberation of Palestine dan National Initiative mengeluarkan pernyataan bersama pada Jumat (15/3). Mereka mengecam pengumuman Perdana Menteri baru oleh Abbas.
Para kelompok perlawanan ini mempertanyakan kelayakan dan menyayangkan penunjukan PM baru berasal “dari lingkungan politik yang sama”.
“Mengambil keputusan individu dan melakukan langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan,” demikian yang tertulis dalam pernyataan seperti dilaporkan kantor berita Anadolu Agency.
Pada Kamis (14/3), Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai Perdana Menteri dan memintanya untuk membentuk pemerintahan baru.
Mustafa menggantikan Mohammad Shtayyeh yang mengundurkan diri pada Februari sehubungan perkembangan perang Israel di Gaza.
Dia memang bukan anggota gerakan Fatah yang dipimpin Abbas, tapi dia adalah anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina.
Dalam pernyataan serupa, mereka mendesak gerakan Fatah untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Palestina untuk mengatur langkah saat ini. Langkah yang diambil harus sesuai dengan tujuan nasional Palestina dan memenuhi aspirasi rakyat untuk membebaskan tanah dan tempat-tempat suci mereka.
Sejak serangan lintas perbatasan oleh Hamas pada 7 Oktober, Israel telah melancarkan serangan terhadap Gaza. Sebanyak lebih dari 31 ribu orang tewas dan lebih dari 73 ribu lainnya mengalami luka dalam serangan tersebut.
Blokade Israel melumpuhkan wilayah kantong Palestina sehingga penduduk Gaza utara berada di ambang kelaparan.
Menurut PBB, sekitar 83 persen warga Gaza terpaksa mengungsi di tengah kekurangan obat, makanan, dan air bersih. Sementara itu 60 persen infrastruktur wilayah tersebut rusak atau hancur.
(Sumber: Cnnindonesia)