Dua perempuan Palestina menorehkan sejarah baru dengan keberhasilan mereka menjadi hakim perempuan pertama dalam sistem peradilan syariah di negeri itu. Di seluruh dunia Arab, baru negara Sudan saja yang memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi hakim di mahkamah syariah.
Kepala hakim peradilan syariah Syaikh Taysir Tamimi menunjuk Khuloud Faqih,34 dan Asmahan Wuheidi, 31 sebagai hakim perempuan pertama dalam peradilan syariah untuk wilayah Tepi Barat. Syaikh Tamimi juga menyatakan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kaum perempuan lainnya untuk menjadi hakim peradilan syariah.
Kedua perempuan Palestina itu ahli dalam bidang hukum sipil, tapi mereka terpilih sebagai hakim peradilan islam karena mereka lulus dengan nilai sempurna dalam ujian hukum syariah dan berhasil mengalahkan calon-calon hakim lainnya yang kebanyakan pria.
Menurut Syaikh Tamimi, pada bulan Agustus lalu, Faqih datang kepadanya dan menanyakan apakah dia bisa mengajukan lamaran untuk posisi hakim dan Tamimi mempersilahkan Faqih untuk mengirimkan berkas-berkas lamarannya.
Syaikh Tamimi mengakui jika ia harus memperdebatkan keikutsertaan perempuan untuk menjadi hakim peradilan islam dengan sejumlah koleganya yang tidak setuju. Hingga ia harus mengeluarkan surat resmi yang memastikan bahwa kaum perempuan boleh mengirimkan lamarannya untuk menjadi hakim peradilan syariah.
Syaikh Tamimi berharap akan lebih banyak lagi perempuan mengajukan diri sebagai hakim peradilan syariah, sehingga bisa membantu kaum perempuan dengan keputusan-keputusan yang adil. Meski demikian Tamimi mengingatkan, kesempatan yang ia berikan bagi kaum perempuan itu tergantung pada kinerja kedua hakim perempuan pertama yang sudah terpilih.
Meski demikian, banyak kalangan yang keberatan dengan terpilihnya kedua hakim perempuan tersebut. Mereka meragukan kapabilitas hakim perempuan yang menurut mereka tidak bisa disamakan dengan hakim pria.
Saat ini, baru Sudan satu-satunya negara Arab yang membolehkan hakim perempuan dalam sistem peradilan syariah. Negara-negara Arab lainnya yang lebih maju dari Sudan seperti Libanon, Suriah dan Yordania belum memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi hakim peradilan syariah.
Hal tesebut terkait dengan aturan yang berlaku di banyak negara-negara Arab bahwa jika seorang perempuan mengajukan gugatan cerai, maka harus atas persetujuan hakim. Tapi seorang pria tidak perlu meminta persetujuan hakim dalam proses perceraian.
Faqih dan Wuheidi mengatakan, mereka ingin membantu kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan syariah islam jika mengalami kasus dalam rumah tangga. Karena terkadang kaum perempuan malu mengungkapkan persoalan-persoalan yang dialaminya dalam hubungan rumah tangga jika hakimnya laki-laki. (ln/prtv)