Berulangkali krisis politik yang mengakibatkan konflik terbuka antara dua partai di Palestina, Hamas dan al-Fatah. Usaha-usaha melakukan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, yang dimediasi berbagai pemimpin negara tak berhasil. Kini konflik bukan lagi antara fihak Hamas dengan al-Fatah, tapi konflik justru di internal al-Fatah sendiri.
Hamas memenangkan pemilu tahun 2006, dan mengambil seluruh Gaza di tahun 2007. Begitu cepat perubahan itu. Sementara itu, al-Fatah yang didirikan oleh Yaser Arafat, dan selanjutnya dipimpin Mahmud Abbas, yang menjadi Presiden Otoritas Palestina berkuasa di Tepi Barat. Mahmud Abbas mengendalikan aparat keamanan di Tepi Barat, yang melakukan kontrol seluruh sistem keamanan di wilayah itu. Namun, kini sesudah Abbas habis masa kepemimpinannya, tampak Otoritas Palestina mengalami krisis kepemimpinan.
Sekarang konflik terjadi di internal organisasi al-Fatah yang dipimpin Mahmud Abbas, yang menguasai Tepi Barat. Ini artinya konflik antara internal Fatah dengan Fatah. Al-Fatah telah melakukan kerjasama dengan Israel dan AS, yang justru menciptkan kemunduran misi perdamaian di Timur Tengah. Karena, al-Fatah yang dipimpin Mahmud Abbas sudah kehilangan posisi tawar ‘bargaining’ dengan pemerintah Israel dan AS. Sepertinya, Abbas hanya menjalankan misi dari Israel dan AS, yang tujuannya mengeliminir kekuatan Hamas di Gaza. Termasuk ikut dalam invasi Israel ke Gaza, yang menggunakan nama sandi, ‘Cast Lead’.
Sakit hati Abbas, karena tersingkir dari Gaza, menyebabkan pemimpin Otoritas Palestina ini ‘berdagang’ dengan Israel dan AS menghancurkan Hamas melalui sebuah agresi milier di bulan Januari 2008 lalu. Inilah sebuah kekejian yang dilakukan Otoritas Palestina, yang dipimpin oleh Mahmud Abbas. Sekarang Otoritas Palestina menangkap dan menahan ratusan personil Hamas yang ada di Tepi Barat, yang bekerjasama dengan fihak Israel. Semuanya itu tujuannya untuk mengeliminir Hamas yang ada di Tepi Barat.
Tapi, yang menjadi ironi, justru sekarang di internal al-Fatah terjadi perebutan kekuasaan (struggle power) diantara elite kelompok itu. Memang, sejak meninggalnya Arafat di tahun 2004, telah terjadi kekosongan kepemimpinan di kalangan al-Fatah. Dan, Abbas berhasil menggantikan Yaser Arafat yang meninggal. Tapi, justru Abbas menghadapi kegagalan menyatukan internal al-Fatah, yang berserak. Sehingga, terpecah—pecahnya al-Fatah itu, mengakibatkan gerakan kelompok al-Fatah menjadi sangat lemah. Kegagalan ini semakin jelas, ketika mereka mencoba menghidupkan kembali Organisasi PLO, sejak usai perjanjian Oslo di tahun 1993. Dan, kebijakan politik al-Fatah yang sudah berkuasa di Tepi Barat, tak lepas dari dukungan beberapa pemimpin Fatah yang ada dipengasingan. Dan, Abbas berusaha memotong seluruh peran politik dari para pemimpin Fatah yang ada dipengasingan.
Tentu, yang menggegerkan seluruh Palestina dan Dunia Arab, ketika mantan Menlu Palestina di zamannya Arafat, Farouk Qaddumi, yang juga mantan Sekjen gerakan al-Fatah, serta ketua komite sentral gerakan itu, mengumumkan dan menuduh Mahmud Abbas dan Kepala Keamanan Palestina, Mohammad Dahlan, terlibat dalam konspirasi melakukan pembunuhan terhadap Yaser Arafat.
Peristiwa ini sungguh bagaikan petir disiang bolong, terutama dikalangan pendukung Fatah, bahwa yang melakukan pembunuhan justru orang dekat Arafat, yaitu Abbas dan Mohamad Dahlan. Farouk Qaddumi salah seorang tokoh dalam kelompok lima, yang berdiri sejak tahun 1959 di Kuwait, dalam konferensi pers, sepekan yang lalu, Qaddumi, menyampaikan transkrip tentang pembicaraan yang berkaitan dengan Arafat sebelum meninggal tahun 2004. Isi pembicaraan itu, menurut Qaddumi, pertemuan Abbas dan mantan perdana menteri Israel, Ariel Sharon, yang mendiskusikan kemungkinan rencana pembunuhan Yaser Arafat, dan sejumlah pemimpin senior Hamas.
Namun, kalangan al-Fatah sendiri terutama kelompok Abbas dan Dahlan, bahwa isu tentang konspirasi pembunuhan Yaser Arafat hanyalah propaganda dari Qaddumi, yang ingin menciptakan histeria dikalangan rakyat Palestina, di mana bulan depan ini akan berlangsung kongres, yang akan memilih dan menegaskan kembali jati diri gerakan itu. Apakah al-Fatah masih akan menjadi wadah perjuangan rakyat Palestina, atau justru menjadi alat Israel dan AS untuk menghancurkan gerakan perlawanan Hamas? (m/tm)