Penderitaan Warga Palestina, "Jangankan Makan Daging, Buncis Saja Sudah Lumayan."

Rakyat Palestina mulai merasakan kehidupan yang makin sulit setelah Uni Eropa dan AS menghentikan bantuannya secara langsung pada otoritas Palestina.

"Kantong saya sudah kering. Saya pinjam uang dari semua orang yang saya kenal dan mereka tidak bisa meminjami saya lagi," keluh Ma’ruf Rawashdeh, ayah dari 7 orang anak. Rawashdeh yang bekerja sebagai teknisi di sebuah lembaga siaran nasional Palestina, kini tidak bisa pergi ke kantor karena tidak punya uang lagi untuk membayar ongkos bis.

Setiap harinya, ia membutuhkan uang sekitar 20 shekel (sekitar 4.30 dollar) untuk ongkos minibis dari desanya di Bitin ke tempat kerjanya di Ramallah. Ia tidak tahu kapan akan mendapatkan gajinya lagi, karena pemerintahan Hamas kini tidak punya kas dan dana bantuan yang sangat dibutuhkan juga prospeknya sangat kecil.

Menteri Keuangan Palestina yang baru Umar Abdul-Razaq mengatakan, kosongnya kas negara menyebabkan pemerintah tidak bisa membayar gaji pegawai negeri, setidak untuk saat ini.

Pemerintahan baru Palestina pimpinan Hamas kini sedang menghadapi ujian berat karena tidak memiliki sumber-sumber keuangan negara. Seperti diketahui, transfer uang bulanan dari pajak yang dipungut pemerintah Israel sebesar 50 juta dollar, yang seharusnya menjadi hak rakyat Palestina, sudah dihentikan.

Pertemuan menteri-menteri luar negeri Eropa yang berlangsung di Luxembourg, Senin (10/4) kemarin, memutuskan untuk membekukan bantuan ke dan melalui pemerintahan Palestina, di mana bantuan tersebut meliputi bantuan bagi pembayaran gaji pegawai negeri Palestina yang diberikan Uni Eropa melalui Bank Dunia.

Hasil pertemuan kemarin menegaskan, bantuan Uni Eropa sebesar 600 juta dollar pertahun dan merupakan bantuan terbesar bagi otoritas Palestina, tidak lagi disalurkan langsung ke pemerintah Palestina tapi akan diberikan melalui organisasi-organisasi kemanusiaan. Hal serupa juga dilakukan AS, meski berjanji tetap akan menyalurkan bantuan bagi keperluan kemanusiaan.

Setiap bulannya pemerintahan Palestina harus menyediakan dana sebesar 118 juta dollar untuk membayar gaji pegawai pemerintahan Palestina yang jumlahnya mencapi 140.000 orang.

Krisis keuangan yang melanda pemerintah Palestina, memaksa rakyat Palestina untuk mengencangkan ikat pinggang dan berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan yang esensial saja.

"Tidak ada permen lagi, tidak ada daging. Buncis saja sudah lumayan," kata Majdi Sharour, seorang pegawai negeri dengan empat orang anak.

Biasanya, toko-toko dan pasar-pasar di Palestina dipenuhi para pembeli pada dua pekan pertama setiap bulan. Tapi memasuki minggu kedua bulan ini, tidak ada sedikitpun tanda-tanda para pembeli akan datang.

Pembayaran sewa dan pinjaman, biasanya juga dilakukan pada awal bulan. Namun nampaknya tidak akan ada orang yang akan membayar sewa atau pinjaman untuk bulan ini. "Semua cek-cek ini menunpuk. Mereka sudah tidak punya uang," kata seorang pegawai bank di Ramallah.

Dampak Sosial, Ekonomi dan Keamanan

Penghentian bantuan bagi otoritas Palestina yang dilakukan oleh kekuatan Barat memicu aksi protes ribuan rakyat Palestina di Jalur Gaza. Mereka juga mengecam agresi Israel yang terus menerus dilakukan ke wilayah Palestina yang telah menyebabkan tewasnya 14 warga sipil Palestina dalam dua hari belakangan ini.

Di sisi lain, para pejabat pemerintahan Palestina berjanji jika bantuan keuangan dari negara-negara donor sudah direalisasikan, mereka akan memprioritaskan pembayaran gaji bagi para pegawai rendah yang paling menderita karena tidak menerima gaji.

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi yang dialami rakyat Palestina dan mengkhawatirkan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat kondisi itu. Pierre Kraehenbuehl, direktur operasi ICRC pada para wartawan di Jenewa, Senin kemarin menyatakan, ICRC siap menambah anggaran bantuan bagi otoritas Palestina.

Lembaga yang berbasis di Swiss itu sudah menganggarkan dana sebesar 32 juta dollar untuk program bantuan di Israel dan wilayah Palestina untuk tahun ini. Sebagian besar bantuan itu akan diberikan bagi rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat, terutama untuk memenuhi kebutuhan makanan dan pendapatan bagi warga Palestina.

"Organisasi-organisasi kemanusiaan tidak bisa menggantikan pelayanan yang telah diberikan oleh otoritas Palestina bagi warganya. Ini bukan tugas kami dan kami juga tidak punya kapasitas melakukan itu," kata Kraehenbuehl.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh kepala operasi bantuan Oxfam, Andrew Hill yang menyatakan bahwa LSM-LSM tidak bisa diharapkan untuk memberikan bantuan yang selama ini diberikan oleh negara-negara seperti AS dan Uni Eropa.

"Kami tidak dalam posisi untuk menggantikan Uni Eropa atau AS," kata Hill.

ICRC mengingatkan bahwa pembekuan bantuan pada otoritas Palestina yang dilakukan dunia internasional akan memicu krisis kemanusiaan, ekonomi dan keamanan. "Apapun yang membuat makin memburuknya situasi ekonomi… bisa mengarah pada memburuknya situasi keamanan," ujar Kraehenbuehl.

Kekhawatiran itu juga disampaikan oleh Kepala Badan Bantuan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), John Ging pada Senin kemarin. "Warga masyarakat di Gaza sangat bergantung pada bantuan negara-negara donor. Maka ketika bantuan itu dikurangi, akan ada konsekuensi yang timbul cepat atau lambat," ujarnya.

"Kami mengkhawatirkan konsekuensi dari sisi keamanan. Jika pasukan keamanan tidak dibayar gajinya, mereka akan mengungkapkan rasa frustasinya, apa artinya itu bagi keamanan di Gaza?" sambung Ging setengah bertanya.

Ia menyatakan memahami argumen politik yang dilontarkan tapi argumen itu tidak bisa digunakan untuk menutupi dampak yang akan terjadi akibat penghentian bantuan. "Harus segera dicari solusinya yang tidak menimbulkan dampak bagi rakyat Palestina, para pengungsi khususnya yang paling rawan, mereka tidak memiliki akses pelayanan dan pemenuhan kebutuhan hidup," tambah Ging. (ln/iol)