Mahkamah Agung Israel meminta pemerintahnya untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang melarang secara total mahasiswa Palestina di Jalur Ghaza keluar negeri untuk menuntut ilmu. Menurut Mahkamah Agung, larangan itu justru membahayakan kehidupan warga Yahudi yang bertetangga dengan wilayah Jalur Ghaza
Mahkamah Agung Israel mengeluarkan pernyataan itu menyusul pemberitahuan departemen luar negeri AS yang menyatakan membatalkan bantuan pendidikan Fulbright bagi tujuh warga Palestina di Ghaza. AS membatalkan bantuan tersebut dengan alasan, Israel tidak memberikan izin bagi warga Ghaza untuk keluar dari wilayah Palestina.
Alasan itu mendorong organisasi hak asasi manusia di Israel Gisha menyampaikan petisi atas nama dua mahasiswa Palestina ke Mahkamah Agung Israel. Petisi itu berisi permintaan agar mahasiswa dari Ghaza yang ingin belajar ke luar negeri seperti ke Inggris dan Jerman, diizinkan keluar dari wilayah itu.
Gisha menyatakan, jika Israel tidak mengeluarkan izin tersebut, ratusan mahasiswa dari Ghaza akan kehilangan kesempatan untuk menimba ilmu di negara lain, karena tenggat waktu yang diberikan universitas-universitas di negara bersangkutan hampir habis.
Majelis hakim yang menangani petisi ini menyimpulkan bahwa Israel harus mengkaji ulang kebijakan larangan bepergian ke luar negeri bagi warga Ghaza dalam waktu dua minggu ini. Tapi sayangnya, keputusan Mahkamah Agung Israel itu bukan keputusan yang mengikat sehingga pemerintah Israel boleh tidak mematuhi keputusan itu. (ln/bbc)