“Ini memperdalam perpecahan antara warga Palestina dan membuat persatuan di antara mereka menjadi fatamorgana,” kata Dajani.
Sementara itu, pertikaian antara saingan utama dari dua faksi politik di Palestina, Fatah dan Hamas, tidak membuat posisi yang lemah menjadi lebih baik. Palestina bergantung pada bantuan asing yang terkadang bersyarat.
Di sisi lain, Otoritas Palestina (PA) juga terpukul sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjabat. Selama masa kepresidenan Trump, Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu telah menerima lebih banyak dukungan keuangan, militer, moral dan diplomatik daripada sebelumnya.
Tidak hanya itu, AS juga mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya di sana. AS juga memutus bantuan kepada PA dan kepada Lembaga Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina. Lembaga PBB ini melayani jutaan pengungsi Palestina di Gaza, Tepi Barat, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Selain itu, AS juga menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina di Washington. Semua hadiah untuk Israel ini secara signifikan melemahkan Otoritas Palestina.
Selama tujuh dekade terakhir selama konflik Palestina-Israel berlangsung, Tel Aviv telah mengulur waktu, melanggar perjanjian yang ditandatangani dengan PA.
Israel juga memperluas permukiman ilegal untuk mendorong agar warga Palestina tunduk, dan menekan mereka untuk menerima apa yang ditawarkan.
Tidak hanya faktor ini, dinamika yang berubah dan berkurangnya perhatian dunia Arab terhadap Palestina juga disebabkan karena langkah sejumlah negara Arab yang mengembangkan hubungan dengan Israel. Mereka melakukan itu dengan tujuan menangkal Iran.
Bagi beberapa negara, Israel tidak lagi selalu dipandang sebagai musuh nomor satu. Namun, posisi Israel itu kini digantikan Iran.