PBB: Israel Penyebab Utama Krisis Finansial dan Kemanusiaan di Palestina

Badan bantuan PBB menyatakan, pihaknya membutuhkan dana sekitar 450 juta dollar pada tahun 2007 untuk memulihkan krisis kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina. Menurut data PBB, saat ini sekitar 65 persen rakyat Palestina hidup dalam kemiskinan dan tingkat pengangguran mencapai 29 persen.

Kordinator bantuan kemanusiaan PBB untuk wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat, David Shearer mengatakan, "Dengan kesulitan-kesulitan yang terjadi saat ini, tingkat kemiskinan terus meningkat." Pelayanan kesehatan menurun dan nyaris terhenti karena habisnya persediaan obat-obatan dan hampir 50 persen rakyat Palestina tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan.

Dari 450 juta dollar dana yang dibutuhkan, kata Shearer, 3/4 nya diperlukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, bantuan dana kas dan bantuan makanan serta menopang sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Para ekonom dan analis independen juga mengatakan bahwa pemerintah Palestina pimpinan Hamas kini dalam krisis yang mendalam. Namun Menteri Keuangan Palestina Samir Abu Aisha mengatakan bantuan-bantuan dari negara-negara Arab dan sebagian negara-negara Eropa masih mampu membuat pemerintah bertahan.

Memburuknya perekonomian dan kondisi kemanusiaan di Palestina, tidak lepas dari boikot yang dilakukan penjajah Zionis Israel terhadap rakyat Palestina dan sangsi dunia internasional terhadap pemerintahan Hamas. Boikot itu menyebabkan pemerintah Palestina tidak mampu menggaji 160 ribu pegawainya yang menjadi tulang punggung perekonomian Palestina.

Lebih lanjut Shearer mengungkapkan, yang menjadi persoalan utama bagi rakyat Palestina adalah akses bergerak rakyat Palestina yang dibatasi oleh militer Zionis Israel menyebabkan terhambatnya arus keluar masuk barang kebutuhan, terhambatnya ekspor Palestina dan lalu lintas pergerakan warga. Hal itu memicu naiknya tingkat kemiskinan di Tepi Barat dan Gaza.

Menurutnya, peningkatan jumlah bantuan bukan satu-satunya solusi bagi krisis di Palestina. Yang paling diperlukan adalah penyelesaian politik atas pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah Zionis Israel.

Kesulitan finansial yang dialami Palestina, kata Shearer, utamanya bukan karena boikot internasional tapi karena tindakan Israel yang menahan ratusan juta dollar dana milik pemerintah Palestina dari hasil pendapatan pajak.

Dalam keterangan pers di Ramallah, Tepi Barat, Shearer mengatakan, jumlah uang rakyat Palestina yang berada di tangan pemerintah Israel saat ini mencapai 550 juta dollar. "Jika kami menerimanya, jumlah ini bisa segera menyelesaikan krisis finansial," ujarnya.

Sementara juru bicara Israel Miri Eisin mengatakan, Israel mau mempertimbangkan untuk mengembalikan dana milik rakyat Palestina itu, jika tentaranya yang sekarang masih ditawan pejuang Palestina dibebaskan.

Ribuan Rakyat Palestina Tertahan di Rafah

Bukti bahwa Israel masih membatasi gerak warga Palestina bisa dilihat di perbatasan internasional Rafah, yang memisahkan wilayah Jalur Gaza dengan negara Mesir dan menjadi satu-satunya "gerbang" rakyat Palestina dengan dunia luar.

Sudah enam bulan Israel menutup perbatasan itu dan selama itu pula baru 24 kali Israel membukanya kembali bagi warga Palestina, terakhir pada Rabu (6/12) kemarin. Setelah itu Israel kembali menutupnya dan tidak diketahui kapan akan dibuka kembali, padahal masih banyak warga Palestina yang menunggu "pintu gerbang" itu dibuka lagi.

Tentara-tentara Israel terus mengawasi perbatasan melalui kamera-kamera yang dipasang di sepanjang perbatasan tersebut, sementara keributan-keributan kecil mulai terjadi di antara warga yang menunggu di perbatasan. Rasa frustasi atas ketidakjelasan kapan perbatasan dibuka kembali berubah menjadi kemarahan.

Sedikitnya ada 1,3 juta warga Palestina yang tertahan di perbatasan Rafah dan banyak di antara mereka yang akan melintasi perbatasan untuk keperluan berobat.

"Isteri saya, jika tidak pergi ke Mesir dalam tujuh hari ini, dia akan kehilangan penglihatannya," kata Nur Odeh, warga Palestina yang ikut menunggu di dekat perbatasan.

Hal serupa dialami oleh Adham, 10 tahun yang kehilangan kedua orang tua dan hampir semua saudara kandungnya dalam serangan Israel ke Gaza. Ia sudah menunggu selama 50 hari agar bisa melanjutkan perawatan kesehatannya ke Mesir.

Di antara mereka ada yang menunggu perbatasan dibuka adalah para mahasiswa. Mereka berharap bisa kembali kuliah di Mesir sebelum terlambat. (ln/aljz)