Para ulama dan politisi Muslim mendeklarasikan hari Jumat (20/10) besok, yang merupakan hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai hari solidaritas terhadap rakyat Palestina. Umat Islam dihimbau untuk menggalang bantuan bagi rakyat Palestina yang menderita akibat boikot dan ‘pemerasan politik’ yang dilakukan negara-negara Barat terhadap pemerintah Palestina.
"Negara-negara Arab dan Muslim serta semua orang di seluruh dunia yang memiliki hati nurani diminta untuk menunjukkan solidaritasnya pada rakyat Palestina pada hari Jumat," demikian bunyi pernyataan dari sekitar 49 ulama dan politisi Muslim yang dipublikasikan oleh surat kabar-surat kabar besar di negara-negara Arab pada Rabu (18/10).
"Kami menyerukan masyarakat Arab dan Muslim untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah negara masing-masing untuk mengakhiri ketidakadilan yang dialami rakyat Palestina dan menyalurkan bantuan mereka untuk membantu rakyat Palestina selama bulan Ramadhan," ajak para ulama dan politisi itu.
Seperti diketahui, sejak Hamas memegang tampuk kekuasaan di Palestina, AS dan sekutunya membekukan dana bantuan bagi pemerintahan Palestina. Sejak itu, ratusan ribu pegawai negeri sipil di Palestina tidak mendapatkan gaji, karena pemerintah tidak punya dana cukup untuk membayar gaji mereka. Kondisi ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat Palestina yang selama ini sudah menderita di bawah kungkungan Zionis Israel.
Dalam pernyataannya, para ulama dan politisi Muslim itu mengecam persyaratan-persyaratan yang diajukan Barat pada pemerintah Palestina jika ingin mendapatkan kembali bantuan tersebut.
"Ini adalah pemerasan politik untuk memaksa pemerintah Palestina memenuhi persyaratan yang tidak adil dengan hanya mengikuti kemauan kaum Zionis," kata mereka.
Para ulama yang ikut menandatangani pernyataan tersebut antara lain Presiden Persatuan Cendikiawan Muslim Internasional,Yusuf Al-Qardhawi; Ulama Saudi, Salman al-Quda; mantan Perdana Menteri Mesir, Aziz Sedki dan Gerakan Perdamaian Al-jazair, Abu Jarah Sultani.
Karena tekanan dunia internasional, Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan paling buruk yang pernah dialami rakyat Palestina.
"Ini adalah Ramadhan terburuk dalam hidup saya," kata Munder Hindiya, warga Palestina yang berprofesi sebagai pedagang emas.
Hal serupa diungkapkan oleh Hasan Naana, pedagang sayur-sayuran. "Banyak orang yang tak mampu membeli. Baru kali ini saya melihat hal seperti ini," kata Naana sambil memperlihatkan sebuah buku catatan yang penuh debu, tempat ia mencatat nama pelanggan yang berhutang padanya.
Seorang tukang daging bernama Amin Abu Zant juga merasakan suramnya Ramadhan tahun ini. "Lihatlah toko saya, kosong. Hidup makin susah dan susah," katanya.
Khaled al-Shaweesh, pedagang pakaian di Ramallah, Tepi Barat mengungkapkan, gaji yang cuma sebagian dibayarkan pada para pegawai, habis untuk membayar utang, membayar biaya sekolah dan untuk kebutuhan hidup lainnya. "Jika sekarang untuk makan saja orang tidak punya uang, apalagi untuk membeli pakaian," keluhnya.
Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Tidak ada makan enak, apalagi baju baru bagi anak-anak Palestina untuk merayakan hari kemenangan.
"Saya bahkan tidak mampu membelikan mereka biskuit. Mereka bisa-bisa merayakan Idul Fitri dengan mengenakan baju sekolah mereka. Ini seperti bukan suasana lebaran. Ini akan menjadi hari yang menyedihkan," kata seorang warga Palestina bernama Ghazi Ashour. Sampai hatikah kita melihat saudara seiman kita yang sedang terdzalimi, bersedih di hari raya? (ln/iol)