Tahun 1922, Kongres AS, entah dengan dasar apa, menandatangani sebuah deklarasi. Isinya, orang Israel boleh berdatangan ke Palestina, mengambil hak hidup dan milik orang Palestina. Tak ayal, sedikit demi sedikit, orang-orang Palestina semakin dipinggirkan dan dikonsentrasikan pada satu wilayah saja.
Dari dulu ternyata polanya selalu sama, yaitu Israel datang dengan buldozer, menggerus rumah orang-orang Palestina dan mengusirnya. Sejak waktu itu, setiap tahun, rakyat Palestina menjadi para pengungsi di negeri sendiri. Dan Israel serta-merta menjadi negeri penjajah, sama halnya ketika Belanda terhadap Indonesia misalnya.
Tahun 1950 jumlah pengungsi Palestina "hanya" berjumlah 914.000, dan sekarang sudah mencapai lebih dari 4,6 juta orang. Ini adalah jumlah pengungsi terbesar di seluruh dunia, dan untuk negara yang mungil seperti Palestina, jumlah itu tentunya menjadi terasa sesak. Bagaimana awalnya? Berikut sepenggal catatan dari masa lalu di Palestina, yang sekali lagi, masih sama dengan masa sekarang.
Mungkin bisa kita bayangkan perasaan mereka. Dalam terik panas matahari, mereka harus meninggalkan rumahnya sendiri, mencari tempat berlindung, mengungsi.
Berjalan kaki beratus-ratus mil jaraknya. Jika tidak mau, karena tidak berdaya, nyawalah yang harus hilang.
Para pengungsi kemudian bersatu, membentuk rumah-rumah tenda yang bahannya terbuat dari plastik dan terpal kasar atau apa saja. Untuk mendapatkan air bersih, mereka harus pergi ke tempat yang juga jauh.
Beberapa tahun kemudian, atas kegigihannya, orang-orang Palestina mulai mengganti tenda mereka dengan rumah-rumah yang cukup layak.
Mereka membuat desa dan kota baru di tempat lain di negaranya sendiri. Pantaskah hal itu? Sementara, Yahudi mendirikan negara Israel dengan segala kekayaan yang ada di dalamnya.
Balita-balita Palestina ini bermain di bawah terik matahari yang menyengat dan tanah pasir. Namun, mereka menjadi generasi-generasi yang kuat.
Warga Palestina makan dijatah, agar persediaan bahan makanan bisa mencukupi untuk waktu tertentu.
Dan anak-anak ini pun belajar bersama-sama. Di manapun dan kapanpun, menuntut ilmu tak akan pernah surut dalam diri bocah-bocah Palestina.
(sa/berbagaisumber)