“Penggalian-penggalian ini bertujuan agar muncul retakan-retakan di rumah-rumah warga Palestina, kemudian otoritas Israel bisa memerintahkan warga meninggalkan rumahnya dengan alasan tak lagi layak untuk ditinggali,” kata Kementerian Luar Negeri Israel dalam pernyataannya yang dilansir dari Middle East Monitor, Kamis (3/1).
Lebih jauh, kementerian menggambarkan pengusiran warga Palestina dari rumah-rumah mereka oleh Israel sebagai sebuah pembersihan etnis sistematis dan berskala besar. Otoritas Israel disebut belum memberikan pernyataan atas hal ini. Israel juga menolak memberi akses pada UNESCO memasuki situs-situs suci di Yerusalem Timur.
Sebelumnya pada bulan Juli 2017, Dewan Eksekutif UNESCO menetapkan resolusi yang mengecam kegagalan Israel menghentikan penggalian, pembangunan terowongan, dan berbagai proyek dan praktik ilegal lainnya yang terus-menerus dilaksanakan di Yerusalem Timur, khususnya di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem, yang ilegal menurut hukum internasional.
Resolusi ini menyatakan langkah-langkah yang ditempuh Israel baik langkah legislasi dan administrasi yang bertujuan mengubah karakter dan status kota suci Yerusalem batal demi hukum dan harus dibatalkan segera.
Dan tahun 2016, UNESCO dalam resolusinya menyebut Yerusalem sebagai kota yang dijajah dan Israel sebagai penjajahnya, dimana berdasarkan hukum internasional, dinilai Israel tak memiliki kedaulatan atas kota bersejarah itu.
UNESCO juga menyatakan Kota Tua Yerusalem seluruhnya milik warga Palestina, merupakan identitas dan warisan sejarah bagi warga Muslim dan Kristen.
Israel menduduki Yerusalem Timur selama Perang Israel pada 1967. Langkah itu tak pernah diakui dunia internasional, secara sepihak Israel menganeksasi seluruh kota pada 1980 dan mengklaimnya sebagai kota abadi dan tak terbagi. (mdk)