Pakar fiqih Maroko Dr. Ahmad ar-Raisuni menyatakan, ajakannya untuk menggelar kesepakatan damai antara Palestina dengan Israel bentuknya berupa gencatan jangka panjang, karena melihat kondisi berat yang dialami bangsa Palestina. Dengan gencatan itu, bangsa Palestina diharapakan dapat keluar dari krisis dan mendirikan institusi-institusi internal mereka.
Pakar dan peneliti asal Maroko itu juga menyerukan pembentukan front pergerakan dan tokoh-tokoh politik serta agama di Palestina untuk mempertimbangkankan usulannya itu, apakah bisa diterima atau sama sekali ditolak.
Gagasan pengajar Ushul Fiqih di Universitas Muhammad V itu mengemuka dalam sebuah dialog yang diselenggarakan Islamonline, Selasa (31/05/06) malam.
Ar-Raisuni beralasan, pengakuan terhadap Israel melalui kesepakatan damai-jika muncul dari bangsa Palestina melihat kondisi sekarang ini-semata-mata hanya tindakan terpaksa dan darurat. Dari sisi syariat dan hukum sama, hal itu tidak bersifat mengikat.
“Perjanjian-perjanjian yang harus dan wajib dihormati secara syariat dan hukum adalah (perjanjian) yang berlandaskan keadilan, suka sama suka dan keinginan, dan itu yang tidak ada pada rakyat Palestina,” kilah dia.
Sebelumnya pada 25-26 Mei 2006 digelar Dialog Nasional Palestina, di mana dalam dialog itu ditegaskan kembali ketidakbolehan menumpakan darah seorang Palestina dan seruan untuk kembali kepada Piagam Bersama antara seluruh elemen dan kekuatan Palestina yang mengharamkan ‘perang saudara’. Dialog itudiselenggarakan untuk mencari jalan keluar atas kekisruhahn politik yang menerpa dalam negeri Palestina akhir-akhir ini.
Terkait dialog itu, ar-Rausini menyatakan bahwa dirinya hanya ingin urun rembuk dalam menyelesaikan kekisruhan internal Palestina. Ia juga tak menampik bahwa sebagian masyarakat menganggap pendapatnya yang membolehkan untuk berdamai secara bertahap dengan Israel sebagai fatwa. Meski banyak juga yang menentang usulannya itu.
Pakar Ushul Fiqih itu menjelaskan, kesepakatan damai antara kedua belah pihak dalam kondisi sekarang ini, memungkinkan bangsa Palestina dan organisasi-organisasi perjuangannya untuk mewujudkan apa yang mungkin diwujudkan berdasarkan persyaratan-persyaratan internasional dan resolusi-resolusi PBB yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah-wilayah Arab yang diduduki sejak tahun 1967, termasuk di dalamnya Al-Quds (Yerusalem) Timur.
“Meski resolusi-resolusi itu zalim, memihak dan dipicu oleh kekuatan dan pemaksaan, namun itu akan memberikan kesempatan bagi rakyat Palestina untuk mendirikan Negara Palestina yang merdeka di atas wilayah 1967, termasuk Al-Quds dan memungkinkan para pengungsi Palestina yang tercerai berai untuk kembali,” paparnya.
Ketika ditanyakan kebolehan gencatan senjata jangka panjang dengan Israel, ia menjelaskan, “Pembebasan Palestina, seperti juga peristiwa-peristiwa besar sejarah lainnya, tak akan pernah terwujud dalam sehari.”
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa seruan untuk mengakui keberadaan Israel ini tidak berlaku bagi selain Palestina. “Semua Muslimin dari Dakkar sampai Jakarta, tak boleh bagi mereka untuk mengakui Israel. Mereka tak boleh menjalin hubungan normalisasi dengan Israel. Karena itu artinya, dari satu sisi mendukung sang perampok dan pencaplok dan sisi lainnya menghinakan bangsa Palestina dan permasalahannya,” tegas ar-Rausini. (ilyas/iol)