Langkah pemerintahan Palestina pro Mahmud Abbas untuk memperkecil dukungan masyrakat terhadap Hamas, melalui pembubaran yayasan sosial dan pembekuan seluruh asetnya, mendapat perlawanan.
Berbagai yayasan dan organisasi sosial Palestina menolak dibubarkan, seperti yang diinginkan Menteri Dalam Negeri pemerintahan Palestina pro Abbas.
Mereka mengatakan, keputusan itu merupakan keputusan yang kental politik, dan tidak sesuai dengan undang-undang. Mereka juga mengatakan, sejauh ini tidak melalukan sesuatu yang bertentangan secara administratif maupun undang-undang, yang bisa menjadikan yayasan mereka ditutup atau dibubarkan.
Beberapa hari lalu, pemerintah Palestina pro Abbas, melalui Kementerin Dalam Negerinya, telah melarang 106 organisasi dan yayasan non-pemerintah yang selama ini melakukan aktifitas membantu para tahanan, pengajaran Al-Quranul Karim serta advokasi secara umum.
Kebanyakan NGO ini memang didirikan oleh Hamas dan telah banyak memberi pelayanan sosial yang dirasakan manfaatnya bagi rakyat Palestina. Di antara yayasan yang disegel oleh pemerintah Palestina pro Abas adalah Jam’iyah Nafhat Ad Difa’ an Huquuq Asra wa Al-Insan, organisasi yang menangani urusan hak tawanan dan HAM. Yayasan ini telah berdiri sekitar satu setengah lewat di kota Nablus, sebagai organisasi yang fokus memperhatikan kondisi para tawanan Palestina yang meringkuk di penjara Israel.
Dalam pembicaraan dengan Al-Jazeera, ditegaskan oleh pengelola yayasan, pihaknya belum resmi dibubarkan, dan juga tidak merasa melanggar ketentuan undang-undang. “Apa yang kami lakukan selama ini sesuai undang-undang dan telah terasa manfaatnya secara efektif sejak awal tahun lalu, ” ujar seorang pengurusnya. Organisasi ini mempunyai sepuluh orang advokat yang terus menerus memberikan layanan hukum advokasi kepada para tawanan Palestina, dan mengatur jadwal kunjungan keluarga mereka ke penjara.
Selain itu, ada pula Jam’iyah Muallimin Filisthiniyyin, semacam organisasi para guru. Ormas ini juga didirikan saat kepemimpinan Palestina dipegang oleh Hamas. Mereka menolak keputusan pemerintah versi Abbas yang menutup dan membubarkan mereka. Mereka menegaskan bahwa keputusan itu merupakan keputusan politis, dan bahkan berencana akan memejahijauhkan pemerintah akibat keputusan tersebut.
Abu Rais menolak bila yayasannya dianggap ilegal. “Keputusan pembubaran dan penutupan adalah harga yang harus dibayar oleh para advokat karena mereka menolak untuk melakukan pemogokan massal beberapa waktu lalu seperti yang diinginkan orang-orang pro Abbas. Apalagi kami memang didirikan atas restu dari Menlu yang lalu, Said Shayyam, ” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelum ini, Pemerintah inkonstitusional Palestina, pimpinan Salam Fayadh, menyatakan berlepas diri dari Parlemen Palestina yang didominasi Hamas. Mereka menegaskan keputusan larangan terhadap 103 organisasi sosial dan bantuan kemanusiaan di Tepi Barat dan Jalur Ghaza, karena semua organisasi itu dituding menyalurkan bantuan kepada puluhan ribu keluarga miskin pro Hamas. Jumlah list yayasan yang dibubarkan itu kemudian bertambah menjadi 106 yayasan.
Diduga, langkah pelarangan 106 yayasan sosial dan kemanusiaan itu merupakan keinginan penjajah Zionis Israel untuk menutup semua kran yang bisa memberi “nafas” bagi Hamas, yang kini menguasai Ghaza. Fayadh yang dipilih Mahmud Abbas, dengan langkah ini juga sekaligus ingin memaksakan kemenangannya atas Hamas pada pemilu yang akan datang. Dan karenanya, segala cara dilakukan untuk menggerus Hamas. (na-str/aljzr)