Hari Selasa, 21 Juli yang lalu adalah hari yang membahagiakan bagi para siswa sekolah menengah di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Karena hari itu adalah hari pengumuman ujian akhir (tawjihi) yang akan menandai kelulusan mereka dari sekolah menengah atas dan melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas.
Sejak Hamas mengambilalih kekuasaan di Gaza pada Juni 2007, untuk pertama kalinya kementerian pendidikan otoritas Palestina mengumumkan secara terbuka hasil ujian akhir siswa menengah atas, baik dari jurusan sains maupun jurusan sosial. Siswa yang lulus dengan nilai tinggi mendapat kesempatan untuk berkompetisi memperebutkan kursi di universitas-universitas terbaik.
Saat pengumuman kelulusan menjadi istimewa, terutama bagi para siswa di Gaza yang masih berada dibawah blokade rezim Zionis Israel. Dengan segala keterbatasan akses penunjang pendidikan dan proses belajar mereka akibat blokade, para siswa di Gaza ternyata mampu mencetak prestasi akademis yang membanggakan. Dan itu dibuktikan oleh seorang remaja puteri Gaza, Abeer Abu Shawish.
Shawish, 18, menjadi lulusan terbaik se-Jalur Gaza dengan nilai tertinggi untuk semua mata pelajaran yang diujikan. Itu semua berkat kerja kerasanya untuk menghadapi ujian akhir. Ia biasaa menghabiskan waktu 10 jam sehari untuk belajar.
”Saya tidak bisa mengungkapkan bagaimana perasaan saya hari ini. Saya seperti ingin terbang. Saya sangat bahagia. Sangat bersukacita !,” pekik Shawish ketika ditanya bagaimana rasanya menjadi lulusan terbaik di seluruh Gaza.
“Saya biasa belajar 10 jam sehari sejak awal tahun ajaran baru bulan September lalu. Dan sekarang saya memetik hasilnya,” tukas Shawish gembira saat dijumpai di rumahnya di kamp pengungsi Maghazi, Gaza Tengah.
Jika melihat kondisi keluarga Shawish, seperti kebanyakan keluarga Gaza lainnya, sungguh memprihatinkan. Tinggal di kamp pengungsian. Sejak agresi Israel bulan Januari 2008 ke Jalur Gaza, mereka hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Ayah Shawish dan tiga saudara lelakinya tak punya pekerjaan alias menganggur. Ia dan lima saudara perempuannya sehari-hari membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
”Kami keluarga Palestina biasa. Kami dibesarkan oleh ayah yang sekarang sedang sakit, yang mengajarkan kami bagaimana bisa sukses di sekolah,” kata Shawish yang hari itu banyak kedatangan tamu yang ingin mengucapkan selamat padanya.
Meski hidup dalam keprihatinan, keluarga Shawish sangat mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Kakak perempuan Shawish bernama Nour, juga menjadi lulusan terbaik se-Gaza tahun 2006 begitu pula kakaknya yang bernama Amal, menempati posisi ke-5 siswa yang nilainya tertinggi pada ujian akhir tahun 1999. Saat agresi keji Israel bulan Desember lalu, Shawish masih tetap rajin belajar. ”Suatu hari, saat perang berkecamuk, saya mendengar dentuman mortir yang jaraknya begitu dekat sekitar pukul 11.00 malam. Saya menarik napas dalam-dalam dan mencoba melanjutkan belajar saya,” tutur Shawish.
”Saya sangat jengkel dengan serangan brutal Israel dari laut, darat dan udara ke Jalur Gaza. Tapi saya berkata pada diri saya, bahwa saya harus menjadi orang yang berhasil agar bisa melakukan perlawanan terhadap penjajahan Israel, dengan cara saya sendiri, yaitu lewat pendidikan!”, tukasnya mantap.
Ibu Shawish, Umi Abed ikut senang melihat keberhasilan puterinya di sekolah. Ia berkali-kali mengucap syukur pada Allah Swt. “Terima kasih Allah untuk keberhasilan yang besar ini. Insya Allah, puteri saya bisa melanjutkan pendidikannya dengan kondisi yang lebih baik,” harap Umi Abed. (ln/ei)