Perisitwa yang paling menarik di Timur Tengah saat ini, dan gaungnya masih terus berlanjut, berlangsungnya rekonsiliasi antara Hamas dengan Fatah. Dua kekuatan gerakan di Palestina, sejak tahun 2007, terlibat konflik terbuka. Bahkan, Hamas mengusir Fatah dari Gaza. Inilah peristiwa yang sangat menyakitkan.
Fatah menguasi Tepi Barat, dan mendirikan pemerintahan Palestina di Tepi Barat, dipimpin Presiden Mahmud Abbas, dan berusaha bersikap pragmatik terhadap Israel dan AS, tetapi tetap saja tidak mencapai kemajuan apapun.
Justru upaya-upaya perdamaian yang di gagas Washington, nampaknya gagal total. Karena skap Israel yang tidak mau menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem. Praktis ini menggusur penduduk Palestina. AS pun tidak dapat bertindak lebih jauh menghadapi Israel, karena kuatnya tekanan lobbi Israel di Gedung Putih.
Tetapi, seperti terjadi "keajaiban" perubahan politik di dunia Arab, termasuk Mesir, dan lahir pemerinthan transisi. Pemerintahan baru Mesir ini yang menjadi "brokers" politik, yang kemudian mempertemukan Hamas-Fatah menjadi rujuk, dan mau menandatangani perjanjian rekonsiliasi. Selama ini, justru Mesir yang menjadi penghalang, dan lebih menjadi alat Israel, selama pemerintahan Mubarak.
Mengingat perjanjian rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, baru-baru ini, Al Jazeera berbicara dengan pemimpin Hamas Khaled Meshaal.
Meshaal, pemimpin Hamas yang berbasis di Damaskus, berada di Kairo untuk merayakan kesepakatan rekonsiliasi antara berbagai faksi Palestina.
Kesepakatan yang ditengahi oleh Mesir itu mengakhiri konflik antara Hamas-Fatah yang berlangsung selama empat tahun. Ini sebuah langkah pertama menuju pembentukan pemerintah persatuan dan dipandang sebagai awal untuk pembentukan negara Palestina merdeka di Tepi Barat di Gaza.
"Alasan utama di balik kesepakatan itu adanya perpecahan, sebuah perpecahan yang tidak membuat kita bergembira, tetapi kondisi mengharuskan kita hidup bersama," kata Meshaal.
"Kita semua menderita dari akibat perpecahan ini, dan dari hari pertama pertemuan kami, bertujuan melakukan rekonsiliasi yang sesungguhnya, tetapi hal itu tidak mungkin, karena keterlibatan pihak lain", tambahnya.
Mish’al juga menjelaskan sifat hubungan antara Hamas dengan Ikhwanul Muslimin. Dia mengatakan keduanya memiliki prinsip yang sama. "Tapi kami (Hamas) adalah sebuah organisasi independen yang berbeda dari yang lainnya ", ujar Mish’al.
"Kami adalah … gerakan kebebasan nasional dengan latar belakang Islam dan tujuan kami adalah untuk membebaskan tanah air kami dan untuk mengembalikan hak rakyat Palestina", ungkapnya.
"Latar belakang historis kami adalah terkait dengan Ikhwanul Muslimin, tapi ini tidak harus mengarah kepada kekawatiran oleh beberapa kekuatan regional," kata Mish’al. (mh/aljz)