Serangan keji pasukan Zionis Israel selama 22 hari ke Jalur Gaza, menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak Gaza yang mungkin akan terbawa sepanjang hayat mereka. Mereka bukan cuma mendengar bunyi deru pesawat tempur dan ledakan bom yang menakutkan, tapi juga menyaksikan bagaimana rumah mereka hancur dan melihat sendiri ayah, ibu dan saudara-saudara mereka meninggal dengan kondisi menyedihkan.
Mengobati luka psikologis anak-anak Gaza adalah tugas berat selain tugas membangun kembali wilayah Gaza. "Anak-anak banyak yang menemukan kesulitan untuk kembali melakukan aktivitas rutinnya," kata Dr. Rawya al-Burno, seorang konsultan psikiatri di Gaza.
Ia mengatakan, kerusakan yang terjadi di Gaza akibat serangan Israel tidak terhitung besarnya secara materi. Apalagi kerusakan psikologi yang dialami anak-anak, butuh waktu yang sangat panjang untuk memulihkannya. Anak-anak di Gaza, kata Dr. Rawya, mengalami trauma psikologis akibat penderitaan yang mereka alami, perasaan kehilangan rasa aman, tidak bisa tidur, tidak bisa fokus, kehilangan nafsu makan dan tidak mau lepas dari jangkauan orangtua mereka.
"Tiga minggu pertama tahun baru, anak-anak Gaza tidak bisa lelap tidur akibat bunyi ledakan-ledakan dan sekarang sulit bagi mereka untuk kembali menjalani kehidupan yang normal. Banyak anak-anak yang jadi berperilaku "berlebihan" misalnya, mereka jadi suka ngompol," papar Dr. Rawya.
Meski saat ini sudah banyak anak-anak Gaza yang kembali ke bangku sekolah, sekolah-sekolah UNRWA menyiapkan diri untuk menghadapi anak-anak yang mengalami trauma psikologis. UNRWA membuat beberap program untuk sedikit demi sedikit mengikis rasa takut yang menghinggapi anak-anak. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah, meminta para siswa menulis surat untuk semua anak-anak di dunia.
Salah seorang anak dalam suratnya menulis,"Nama saya Aseel dan saya berumur 8 tahun. Saya punya hak untuk hidup, untuk belajar dan bermain, tapi orang-orang Israel merampas itu semua dari saya."
Aseel mengakui, menulis surat bisa membantu meringankan perasaannya. Ia menulis surat itu untuk anak seusianya yang tidak mengalami perang seperti yang terjadi di Gaza. Aseel dengan kepolosan anak-anaknya bertanya,"Mengapa anak-anak lain bisa menikmati hidupnya, sedangkan kami tidak?"
Selain menulis surat, guru-guru di sekolah juga mengajak siswa-siswanya untuk menggambar sebagai media untuk mengungkapkan pengalaman dan perasaan batin mereka. Aktivitas lainnya adalah membuat forum diskusi dan berbagi pengalaman selama perang terjadi dengan teman-teman sekelas serta membuat drama kecil dimana anak-anak bisa menunjukkan perasaan dan situasi yang membuat mereka ketakutan.
Menurut Dr. Rawya, membuat drama psikologis seperti diatas adalah satu satu cara tercepat untuk mengatasi tingkat stress pasca trauma yang dialami anak-anak. Karena dalam drama itu, jelas Dr, Rawya, anak-anak bisa memainkan kembali situasi perang di ruang yang aman dan mereka bisa menyingkirkan dengan cepat bahkan menaklukan rasa takut mereka terhadap peristiwa yang baru saja mereka alami. (ln/prtv)