Eramuslim.com – Pengeboman kamp-kamp pengungsi telah menjadi hal biasa sejak ‘Israel’ memulai genosida di Jalur Gaza pada tanggal 7 Oktober.
Pada hari Senin (18/12/2023), setidaknya 151 warga Palestina syahid dan 313 lainnya cedera dalam serangan ‘Israel’ di kamp pengungsi Jabalia, dan banyak dari mereka yang syahid masih berada di bawah reruntuhan.
Di Tepi Barat terjajah, gerombolan serdadu ‘Israel’ menembak dan membunuh empat warga Palestina, termasuk dua anak-anak, dalam serangan militer di kamp pengungsi al-Faria di Kota Tubas.
Ketika sebagian besar kamp pengungsi didirikan bersifat sementara setelah terjadi konflik atau bencana alam, kamp-kamp pengungsi di wilayah Palestina terjajah telah menjadi kamp pengungsi permanen sejak tahun 1948.
Bukan sekadar tenda-tenda yang ditandai dengan logo PBB, kamp-kamp tersebut telah berkembang menjadi lingkungan yang dibangun sekolah, masjid, toko-toko dan fasilitas lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa orang mempertanyakan apakah kamp-kamp tersebut pantas disebut kamp pengungsi lagi.
1948: Nakba
Pada tahun 1948, Nakba menyebabkan lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka oleh milisi Zionis. Nakba, yang berarti “malapetaka” dalam bahasa Arab, merujuk pada pemindahan massal dan pengusiran penduduk, atau pembersihan etnis Arab Palestina selama Perang Arab-‘Israel’ 1948.
Banyak yang melarikan diri ke negara-negara tetangga Arab, sedangkan yang lain ke berbagai wilayah bersejarah Palestina, di mana mereka dipaksa masuk ke kamp-kamp pengungsi yang didirikan dengan tergesa-gesa.
Setelah itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang baru dibentuk mendirikan Badan Pemulihan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), yang telah mengelola kamp-kamp dan sebagian besar kehidupan sehari-hari para pengungsi Palestina sejak saat itu.
Menurut UNRWA, sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina memenuhi syarat untuk mendapatkan layanan mereka di 58 kamp UNRWA yang didirikan di Lebanon, Yordania, Suriah, Tepi Barat, Baitul Maqdis Timur, dan Jalur Gaza.
Berdasarkan hukum internasional, baik pengungsi tahun 1948 maupun keturunan mereka diklasifikasikan sebagai pengungsi sampai “solusi jangka panjang” ditemukan.
“Situasi pengungsi yang berlarut-larut adalah akibat dari kegagalan menemukan solusi politik terhadap krisis politik yang mendasarinya,” kata UNRWA di situs webnya.
Di Gaza, yang berpenduduk sekitar 2,1 juta orang–termasuk sekitar 1,7 juta pengungsi–terdapat delapan kamp:
-Kamp Rafah
-Kamp Jabalia
-Kamp Khan Younis
-Kamp Al-Shati
-Kamp Nuseirat
-Kamp Bureij
-Kamp Maghazi
-Kamp Deir al-Balah
Kamp-kamp di Gaza telah menderita lebih parah dibandingkan sebagian besar wilayah lainnya sejak ‘Israel’ memberlakukan blokade pada tahun 2007.
Menurut UNRWA, kamp-kamp tersebut–salah satu daerah terpadat di dunia–telah lama menderita masalah parah terkait dengan layanan kesehatan, akses air, penyediaan makanan, listrik, sanitasi, dan masalah-masalah lainnya, bahkan sebelum pengeboman ‘Israel’ yang tiada henti dimulai pada bulan Oktober.
Persentase orang yang tidak memiliki pekerjaan di kamp-kamp tersebut mencapai 48,1 persen pada kuartal ketiga tahun 2022. Sementara itu, sekitar 95 persen populasi kamp-kamp tersebut tidak memiliki akses yang konsisten terhadap air bersih.
Data sebelum perang memperkirakan kamp-kamp di Gaza menampung 620.000 orang yang ditempatkan di lahan seluas kurang dari 6,5 kilometer persegi.
Sumber gerakan perlawanan
Sejak tahun 1948, kamp-kamp tersebut telah menjadi sumber perekrutan yang penting bagi gerakan pembebasan Palestina. Banyak kelompok bersenjata Palestina dan organisasi masyarakat sipil yang berasal dan berkembang di kamp-kamp tersebut.
Ahmed Yassin, pendiri gerakan Hamas, berakhir di kamp al-Shati bersama seluruh keluarganya setelah milisi Zionis menghancurkan desa mereka di wilayah yang sekarang disebut sebagai ‘Israel’.
Fathi Shaqaqi, salah satu pendiri gerakan Jihad Islam, pun lahir di kamp Rafah.
Pemuda Palestina melemparkan batu saat demonstrasi 14 Desember 1987 pada hari ketujuh Intifadhah Pertama di Gaza. Foto: Sven Nackstrand/AFP
Di Jabalia inilah Intifadhah Pertama–sebuah pemberontakan melawan penjajahan ‘Israel’ di Palestina–dimulai pada tahun 1987 usai pemakaman tiga penghuni kamp yang tewas setelah sebuah tank pengangkut serdadu ‘Israel’ menabrak deretan mobil.
‘Israel’ telah lama memandang kamp-kamp tersebut sebagai tempat berkembangbiaknya “terorisme” dan secara teratur menargetkan kamp-kamp tersebut dengan serangan udara selama beberapa dekade. Penjajah mengklaim di kamp-kamp tersebut terdapat terowongan, persenjataan dan pusat komando yang dikendalikan oleh Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.
Sejak 7 Oktober
Serangan hari Senin di kamp Jabalia hanyalah yang terbaru dari serangan berulang di kamp-kamp Gaza sejak 7 Oktober.
Semua kamp telah diserang oleh serdadu ‘Israel’ dan Jabalia menjadi kamp yang terdampak paling parah, menjadi puing-puing dan ratusan orang tewas.
Dalam serangan dua hari pada akhir Oktober, Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 195 orang tewas.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah memperingatkan bahwa “mengingat tingginya jumlah korban sipil dan skala kehancuran setelah serangan udara ‘Israel’ terhadap kamp pengungsi Jabalia, kami memiliki kekhawatiran serius bahwa ini adalah serangan tidak proporsional yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang.” Lebih dari 80 persen penduduk Gaza telah mengungsi sejak dimulainya perang. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan langsung dari mereka yang terusir dari rumah mereka selama pembentukan negara palsu ‘Israel’, sebuah ironi suram yang dicatat oleh sejarah. (Middle East Eye) (Sahabat Al-Aqsha)