Para analis politik Palestina dan Arab Israel menyatakan, jika Palestina mengakui Israel sebagai Negara Yahudi, sama artinya "menginjak-injak" perjuangan bangsa Palestina selama ini untuk memerdekan negaranya dari jajahan Israel dan membentuk Negara Palestina merdeka.
"Mengakui Israel sebagai ‘Negara Yahudi’ praktis menolak para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah airnya yang dijajah Israel sejak tahun 1948, " kata Mekhamar Abu Saeda, seorang profesor bidang ilmu politik di Universitas Al-Azhar, Ghaza.
Pengakuan terhadap "Negara Yahudi" memungkinkan Israel untuk melakukan relokasi para pengungsi ke Tepi Barat dan Jalur Ghaza. Konsekuensinya adalah negara Yahudi murni, di mana tidak ada ruang bagi bangsa Palestina, termasuk bagi kalangan Arab Israel.
"Bangsa Palestina, termasuk orang-orang Arab Israel dan mereka yang berada di luar Palestina sebagai pengungsi, akan berakhir dalam sebuah Negara Palestina murni yang berbasis di Jalur Ghaza dan Tepi Barat.
Profesor bidang ilmu politik di Universitas Ghaza Hani Al-Basos membenarkan pendapat Abu Saeda. "Menjadi negara Yahudi secara harfiah berarti tidak ada tempat bagi orang-orang non-Yahudi. Israel akan melakukan segala upaya dengan kekuatannya untuk memaksa orang-orang Arab Israel untuk keluar dari wilayahnya, " tukas al-Basos.
Seperti diketahui, dalam setiap kesempatan dan negosiasi, pihak Israel selalu menuntut agar Palestina mengakui eksistensi negara Israel. Tuntutan yang selalu ditolak oleh faksi-faksi pejuang di Palestina terutama Hamas.
"Kami tidak mau berargumen dengan siapa pun di dunia ini tentang fakta bahwa Israel adalah sebuah negara orang-orang Yahudi. Mereka yang tidak mau menerima hal ini, tidak bisa bernegosiasi dengan kami, " kata PM Israel Ehud Olmert pekan kemarin.
Abu Saeda menilai pernyataan Olmert itu sebagai pernyataan yang rasis dan bertentangan dengan Deklarasi Universial Hak Asasi Manusia serta hukum-hukum internasional. "Masyarakat yang multi etnis merupakan karakteristik utama dari seluruh negara-negara di dunia, " ujarnya.
Abu Saeda menilai isu tentang pengakuan Israel sebagai Negara Yahudi, baru kali ini terasa begitu kuat, di tengah upaya negosiasi damai yang akan dilakukan untuk Israel dan Palestina. "Dalam pembicaraan damai Camp David saja, isu ini tidak disinggung, " sambung Abu Saeda.
Jamal Zahalka, warga Arab yang menjadi anggota Parlemen Israel (Knesset) mengingatkan adanya konsekuensi secara "politik maupun moral" jika ada pengakuan Israel sebagai Negara Yahudi. Pengakuan semacam itu sama artinya mengakui ideologi Zionis karena Negara Yahudi adalah persamaan kata dari Zionism.
"Orang-orang Arab Israel akan menjadi tawanan di ‘Negara Yahudi’. Mereka akan diperlakukan secara diskriminatif dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Lebih dari itu, keinginan untuk mengembalikan para pengungsi Palestina, hanya akan menjadi harapan yang sia-sia, " tukas Zahalka.
Abu Saeda juga mengkhawatirkan masalah demografis jika Israel diakui sebagai Negara Yahudi. Menurutnya, Israel terobsesi dengan makin meningkatnya komunitas Arab dan Israel mengingingkan pertumbuhan bangsa Arab dihentikan.
Saat ini, jumlah warga Palestina di Jalur Ghaza dan Tepi Barat, jika jumlahnya ditambah dengan kalangan orang Arab Israel, banyaknya hampir sama dengan jumlah warga Yahudi di Israel
Para pengamat politik di Palestina maupun dari kalangan Arab Israel, satu suara mengatakan bahwa otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmud Abbas bersikap "ambigu" dalam masalah pengakuan terhadap Israel. Seharusnya, kata Zahalka, inilah saatnya bagi Abbas untuk mengambil posisi yang tegas atas isu tersebut.
Pengalaman selama ini, kata Zahalka, tidak pernah ada yang mampu membendung rencana-rencana Israel. Sekarang bahkan terdengar kabar bahwa masalah pengakuan atas eksistensi Israel akan menjadi salah satu topik pembicaraan dalam Konferensi Annapolis.
Zahalka mengingatkan, mengakui eksistensi Israel sebagai negara sama artinya menikam dari belakang para martir dan seluruh rakyat Palestina. (ln/iol)