Liga Arab berhasil mengumpulkan dana bantuan sebesar 70 juta dollar untuk Palestina dan akan menyalurkan dana bantuan itu untuk membayar gaji pegawai negeri di Palestina. Pembayaran itu dilakukan secara langsung ke rekening milik pegawai negeri sipil yang bersangkutan.
Juru bicara pemerintah Palestina Ghazi Hamas mengungkapkan, pihaknya sudah memberikan daftar dan detil rekening bank pegawai negeri sipil Palestina ke Liga Arab.
"Kami sudah melakukan banyak kontak dengan Liga Arab dan Sekretaris Jenderal Amr Musa untuk mencari jalan keluar bagi krisi keuangan Palestina secepat mungkin," kata Ghazi. Namun ia tidak mau menyebutkan kapan transfer uang itu akan dilakukan.
Persoalan yang dihadapi Palestina cukup pelik untuk menerima bantuan dari negara lain. Pasalnya bank-bank segan untuk memproses transfer uang ke rekening pemerintah Palestina yang kini dipimpin Hamas. Bank-bank itu takut sangsi yang akan dijatuhkan AS, karena AS dan Uni Eropa menganggap Hamas sebagai organisasi teroris.
Namun setelah berbicara dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Paris, Jumat pekan kemarin, Perancis mengusulkan untuk membuka rekening khusus di Bank Dunia untuk menyalurkan bantuan dari luar negeri dan membayar gaji pegawai negeri. Oleh negara-negara Barat, Mahmud Abbas yang berasal dari faksi Fatah memang dianggap lebih moderat daripada Hamas.
Butuh Bantuan Kesehatan Segera
Pemutusan bantuan oleh negara-negara Barat dan penutupan perbatasan-perbatasan yang dilakukan oleh Israel berdampak pada makin memburuknya kondisi para pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit kronis.
Pasien penderita sakit ginjal misalnya, terancam kehilangan nyawa karena rumah sakit-rumah sakit yang merawat mereka kekurangan alat cuci darah dan penyaringnya.
Hal ini dialami oleh seorang ibu yang dua anaknya, Muna (7 thn) dan Sarah (10 thn) menderita sakit gagal ginjal. Sang ibu sudah meminta agar kedua anaknya bisa dibawa ke luar negeri secepatnya agar bisa melakukan cuci darah tiga kali setiap minggu, supaya ginjal mereka tetap berfungsi.
Para dokter di rumah sakit Nablus, di Tepi Barat sudah berusaha keras untuk mendapatkan lebih banyak lagi alat pencuci darah, namun tidak berhasil. Mereka hanya mendapatkan penyaring ginjal dari rumah sakit Ramallah.
Ahmad Musallam, seeorang perawat di Rumah Sakit Nablus mengungkapkan, banyak pasien penderita gagal ginjal terancam meninggal dunia karena persediaan alat penyaring dan pencuci darah di rumah sakit dan di departemen kesehatan mulai berkurang. Saat ini, sekitar 65 persen dari 100 pasien yang menderita gagal ginjal membutuhkan alat cuci darah untuk bertahan hidup.
"Kami tidak punya uang untuk membeli alat itu dan tidak persediaan bantuan kesehatan yang dikirim pada kami karena Israel menutup sejumlah pos pemeriksaan," kata Mosallam.
Lebih lanjut ia mengatakan, para importir kini berfikir dua kali sebelum memberikan lebih banyak persediaan buat kementerian kesehatan, karena hutang otoritas Palestina yang sudah terlalu banyak, warisan dari pemerintahan sebelumnya.
Salam Luqman yang bekerja sebagai salesman di sebuah perusahaa farmasi mengatakan, kondisi diperparah dengan penutupan sejumlah tempat lalu lintas oleh pihak Israel.
"Biasanya, kami mengimpor obat-obatan melalui pelabuhan-pelabuhan Israel. Tapi sekarang banyak jasa-jasa kargo yang tidak beroperasi karena tidak ada penjelasan dari pihak bea cukai Israel kapan mereka bisa beroperasi lagi," kata Luqman.
Ia menambahkan, perusahaan-perusahaan Palestina juga dibebani biaya ekstra untuk diberikan pada perusahaan farmasi Israel, agar obatan-obatan yang dibutuhkan itu bisa diangkut. "Konsekuensinya, harga obat-obatan menjadi mahal," ujar Luqman.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Palestina Basim Na’im mengingatkan akan adanya bencana kemanusiaan di wilayah Palestina akibat terhentinya bantuan dari luar negeri bagi negaranya.
Ia menyatakan, pihaknya kini sudah mulai kekurangan ebih dari 200 macam obat yang dibutuhkan pasien, sehingga mereka kini dalam kondisi yang sekarat.
Na’ituan segera mengirimkan bantaun obat-obatan untuk mengatasi kesulitan ini. (ln/aljz/iol)