PM Palestina Ismail Haniya dalam rapat pertama kabinetnya Rabu (5/4) mengungkapkan bahwa pemerintah kemungkinan tidak bisa membayar gaji ribuan pegawai pemerintah pada bulan ini.
Haniya tidak menyebutkan apa solusi yang akan diambilnya untuk mengatasi masalah keuangan ini. Ia hanya mengatakan akan melakukan hal yang terbaik untuk mengatasi krisis ini dan menyerukan pada dunia Arab untuk lebih banyak memberikan bantuan bagi rakyat Palestina.
Jumlah pegawai otoritas pemerintahan Palestina baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza, cukup besar sekitar 140.000 orang. Selain itu otoritas Palestina juga memberikan dukungan dana bagi kurang lebih sepertiga rakyat Palestina.
Menteri keuangan Palestina Omar Abdul Razik mengatakan, pihaknya sedang menunggu dana bantuan sebesar 80 juta dollar dari Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab. "Jika mereka membayar, dan saya pikir mereka akan megirimkan dana itu, kami bisa membayar gaji pegawai pada pertengahan bulan ini," kata Razik.
Menyusul kesulitan keuangan itu, Haniya menyatakan bahwa anggota kabinet tidak akan menerima gaji sampai krisis keuangan teratasi. Usai rapat kemarin, pemerintah Palestina juga mengumumkan akan membekukan semua perjanjian-perjanjian administratif yang sebelumnya dibuat oleh pemerintahan Fatah dan meminta semua anggota kabinet untuk mengumumkan pendapatannya pada publik sebagai upaya mencegah korupsi.
Sementara itu Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengeluarkan dekrit presiden pada Rabu (5/4) yang menegaskan bahwa departemen administrasi pengelolaan perlintasan dan perbatasan, kini berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan demikian, departemen itu akan lebih inpenden dibidang finansial, komersial, keamanan dan akan berafiliasi langsung ke kantor kepresidenan.
Sejumlah pejabat yang dekat dengan Abbas mengatakan langkah itu diambil tidak lepas dari tekanan Uni Eropa yang mengancam akan menarik para pemantaunya di lintas batas Rafah, yang menjadi penghubung antara Gaza dan Mesir sebagai respon atas naiknya Hamas di pemerintahan Palestina.
Oleh Hamas, langkah Abbas itu dinilai sebagai pelanggaran kesepakatan pembagian kekuasaan dan bertentangan dengan pemahaman bahwa kontrol atas perbatasan tetap berada di tangan pemerintah.
"Upaya-upaya yang berusaha mengurangi otoritas pemerintah akan merusak performa dan kemampuan pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya," kata juru bicara kabinet Ghazi Hamad. (ln/aljz)