Keluarga itu tengah asyik menimakmati teh di sore hari. Abu Jbarah dan anak serta istrinya sekadar melepas penat setelah dikurung oleh ganasnya agresi Israel. Baru di kamp pengungsian itu mereka bisa beristirahat sejenak. Mereka mengumpulkan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh, karena di pusat Jalur Gaza cuaca tengah dingin.
Tiba-tiba dari udara, sebuah kapal tempur melesat cepat. Abu Jbarah dan empat orang anaknya belum sempat melihat kapal itu, namun detik berikutnya tubuh mereka hancur berkeping-keping. Pesawat tempur itu menghamburkan misil yang langsung menghajar rumah penampungan yang dipakai keluarga itu. Dua orang lainnya terluka parah. Ali Jbarah, salah satu anak Abu Jbarah, yang juga terluka parah, mengenang peristiwa itu.
Ali mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi Senin malam, beberapa hari yang lalu. "Kakak saya bahkan tengah bersiap meninabobokan anak perempuannya yang berumur 10 tahun. Ketika ia menuju kamar anak perempuannya itu, roket itu menghantam kami. Kakak saya langsung syahid, ia meninggalkan seorang seorang anak perempuan dan laki-laki." Ali mengenang, matanya berkaca-kaca.
Jbarah hanya salah satu dari keluarga yang tinggal di pengungsian itu. Di sana ada 18 orang dewasa dan 4 orang anak kecil. Keluarga Jihad yang terdiri dari Basel (21), Usama (30), dan Jihad ( 53 tahun) sang ayah, tubuhnya hancur berkeping saat itu juga, di depan mata si bungsu yang baru berumur 6 tahunan. "Ayahku telah pergi ke surga," ujarnya getir namun masih terdengar gagah, sambil berdiri di atas reruntuhan kayu yang dipakai duduk oleh almarhum ayah, kakak, dan pamannya. Kayu itu berserakan karena hantaman misil Israel.
Bassam al-Krunz, seorang pengungsi di Kamp al-Bureij, berkata, "Kami ini pendukung Fatah, tapi kamipun menjadi korban seperti ini. Saya tidak bsia membayangkan bagaimana saudara-saudara kami yang berhubungan dan mendukung Hamas." (sa/imemc)