Eramuslim – Mengakui Al Quds sebagai ibu kota Zionis Israel adalah janji politik Donald Trump ketika mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika Serikat 2016 lalu.
Jadi, jika saat ini Trump menunda rencana pengakuan itu, bukan berarti kebijakan itu dibatalkan. Demikian disampaikan Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies, Smith Alhadar, dalam wawancara live bersama CNN Indonesia beberapa saat lalu.
“Itu (Yerusalem ibu kota Israel) merupakan janji Donald Trump ketika kampanye untuk memuaskan pendukungnya di sayap kanan dan gereja evangelis. Jadi, kalau dia belum melakukan sekarang, ke depan pasti akan dilakukan,” jelas Smith.
Smith menjelaskan, salah satu faktor pendukung mengapa Trump nekat mewujudkan janji itu adalah dukungan negara Timur Tengah yang “cukup beriwibawa”, yaitu Arab Saudi.
“Beberapa waktu lalu diberitakan yang menyusun konsep perdamaian adalah Putra Mahkota (Pangeran Mohammed bin Salman) dan Jared Kushner (menantu sekaligus penasihat Trump). Mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa masalah Palestina dapat diselesaikan dengan cara Palestina dimerdekakan di sebagian Tepi Barat dan Jalur Gaza,” terang Smith.
Konsep perdamaian buatan Arab Saudi dan AS itu juga menyebutkan bantuan keuangan untuk Palestina dan pembebasan ribuan tahanan Palestina.
Rabu 5 Desember 2017, Donald Trump memutuskan menunda rencana pengakuan Al Quds sebagai ibukota bagi Zionis Israel. Gedung Putih mengatakan, pengumuman keputusan itu akan dibuat dalam beberapa hari mendatang.
Sedangkan Duta Besar AS untuk Indonesia, Josep R. Donovan, pun menyatakan hal sama ketika dipanggil Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Menurutnya, Trump belum mengambil keputusan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Jokowi sendiri hanya menyampaikan keprihatinannya atas rencana kontroversial itu.
“Kalau AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, maka dia yang pertama di dunia, dia melanggar sejumlah kesepakatan internasional,” tegas Smith. (Rmol/Ram)