Intelejen Israel Tutup Akses Kesehatan bagi Warga Palestina

Laporan yang dirilis organisasi non profit Physicians for Human Right (PHR) mengungkap kebijakan keji badan intelejen dalam negeri Israel, Shin Bet terhadap warga Palestina. Badan intelejen itu secara sistematis mencegah warga Palestina mendapatkan perawatan medis di Israel, meski sudah dalam kondisi sekarat.

Warga Palestina terpaksa ke wilayah Israel untuk mendapatkan perawatan medis yang tidak tersedia rumah sakit-rumah sakit di Palestina. Namun menurut catatan PHR, dalam banyak kasus ditemukan bahwa pasien-pasien dari Palestina yang membutuhkan perawatan medis khusus untuk menyelamatkan nyawa mereka, ditolak oleh Israel. Misalnya dengan menolak izin masuk mereka.

Laporan PHR yang dimuat oleh surat kabar Israel Haaretz juga menyebutkan bahwa Shin Bet punya hak veto atas semua permohonan yang diajukan pasien asal Palestina untuk bisa masuk ke Israel untuk mendapatkan perawatan medis atau agar bisa berobat ke luar negeri. Banyak permohonan yang ditolak dengan alasan pasien bersangkutan termasuk orang yang "dilarang masuk."

Shin Bet telah memang membuat klasifikasi terhadap warga Palestina yang dianggapnya berpotensi menimbulkan ancaman keamanan nasional.

PHR menganalisa permohonan-permohonan izin masuk ke Israel yang ditolak Shin Bet dan menyimpulkan bahwa Shin Bet hanya menerapkan kriteria-kriteria yang umum dalam keputusannya itu.

Menurut analisa PHR, warga Palestina dengan rentang usia 16-35 tahun, kadang 18-40 tahun dianggap ‘berbahaya’. Mereka yang permohononan izin masuk Israelnya ditolak antara lain, kaum laki-laki dan perempuan yang belum menikah atau mereka yang sudah menikah tapi tidak punya anak. Mereka yang punya catatan pernah berurusan dengan aparat keamanan, meski dalam level ringan, misalnya mantan tahanan. Mereka yang punya motif untuk melakukan balas dendam (misalnya orang yang anggota keluarganya pernah didzalimi oleh tentara Israel), mahasiswa yang universitas tempat kuliahnya dianggap sebagai ‘sarang teroris’ oleh Israel dan pasien-pasien AIDS.

PHR menilai penggunaan kriteria-kriteria itu sebagai hukuman kolektif terhadap warga Palestina. PHR juga menegaskan bahwa tindakan Israel menolak pasien-pasien yang ingin mendapatkan perawatan medis, merupakan tindakan yang melanggar hak asasi. Bagi sejumlah pasien, ketiadaan perawatan medis sama artinya dengan hukuman mati.

Israel Langgar Kesepakatan dan Hukum Internasional

Berdasarkan kesepakatan Gaza dan Jericho tahun 1994, tanggung jawab pelayanan medis di wilayah Palestina dialihkan ke pihak otoritas Palestina. Tapi pada prakteknya, otoritas Palestina tidak mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, oleh sebab itu, otoritas Palestina kadang mengirim banyak pasiennya ke Israel dan negara-negara Arab untuk berobat.

Padahal, hukum internasional dan kesepakatan di mana Israel tersangkut di dalamnya, mewajibkan negara Zionis itu untuk menyediakan layanan kesehatan bagi warga masyarakat di wilayah Palestina yang dijajah Israel. Tapi Israel menolak mengakui kewajiban tersebut dan hanya merespon permohonan lain ‘di luar masalah kemanusiaan’.

Laporan PHR juga menyebutkan bahwa Shin Bet menolak untuk menanamkan modal dan sumberdaya manusianya untuk evaluasi yang lebih detil terhadap permohonan-permohonan untuk berobat ke Israel dari warga Palestina. Karena tidak ada evaluasi itu, banyak permohonan yang secara otomatis ditolak.

Warga Palestina yang mengajukan permohonan, tahu informasi penolakan itu melalui biro administrasi sipil, dan tidak pernah diberitahu apa alasan penolakan dan tidak pernah diberitahu bagaimana cara yang mudah untuk menyatakan banding atas penolakan tersebut. Bahkan banyak warga Palestina yang tidak tahu bahwa ada kemungkinan banding terhadap keputusan itu.

Mayoritas warga Palestina yang meminta pertimbangan dan berhasil masuk ke Israel, karena bantuan PHR. Menurut data PHR, dari 138 permohonan tahun 2006 yang ditolak izin masuknya, sekitar 116 di antaranya atau 84 persennya akhirnya diberi izin masuk.

PHR dalam laporannya merekomendasikan agar semua metode pemberian izin masuk Israel direformasi. "Shin Bet secara diam-diam menikmati kontrol penuh yang tidak bisa dibatasi oleh pengadilan tinggi. Menolak pasien berobat adalah sebuah penyisaksaan," tulis PHR.

Apalagi Shin Bet ternyata memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi keluarga pasien untuk merekrut mereka menjadi informan Israel. Syaratnya, izin akan diberikan jika keluarga bersangkutan berjanji akan memberikan informasi yang dibutuhkan Israel. (ln/Haaretz)