Eramuslim – Indonesia berpeluang menjadi alternatif power dalam percaturan politik dunia. Modal yang dimiliki Indonesia cukup besar. Dunia pun masih mengingat legacy Bung Karno dan diplomat-diplomat senior Indonesia di masa lalu dalam mempromosikan dan mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika pasca Perang Dunia Kedua.
“Indonesia pernah menjadi pioneer dan front-liner kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Legacy ini masih diingat dunia,” ujar pengamat hubungan internasional Teguh Santosa dalam dialog di Radio Digital Bravos, di Jakarta, Rabu (10/4).
Tetapi, sambung dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini, untuk menjadi alternatif power Indonesia harus memiliki kebijakan luar negeri yang memang bisa membuat negara-negara lain menghormati Indonesia dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar menghormati secara formalitas dan protokoler.
“Ada dinamika di dunia internasional seiring dengan kemunculan Republik Rakyat China (RRC) yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai penantang dominasi mereka di berbagai kawasan. Bagaimana dalam setting baru ini kita bisa, pertama, mengamankan kepentingan nasional. Kedua, ikut menentukan agenda-agenda internasional yang penting dan yang sejalan dengan kepentingan nasional kita,” ujarnya dalam dialog yang dipandu Budhie Soenarso itu.
Belt and Road Initiative (BRI) yang diperkenalkan Presiden China Xi Jinping pada tahun 2012 awalnya memang terlihat menjanjikan bagi negara-negara di kawasan yang sedang mencari sumber pembiayaan alternatif untuk pembangunan. China dengan lihai menawarkan konektivitas melalui program infrastruktur kepada negara-negara yang memang masih memiliki persoalan dengan infrastruktur.
“Tetapi tetap saja tidak ada makan siang gratis. Ini yang belakangan mulai dipahami. Istilah yang digunakan untuk model jerat utang China ini adalah loan to own, meminjamkan untuk memiliki,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah itu.